Kamis, 22 Agustus 2013

SELAYANG PANDANG SEJARAH KABUPATEN SUBANG

SELAYANG PANDANG SEJARAH KABUPATEN SUBANG
(suatu catatan sejarah dari masa prasejarah-kemerdekaan)
oleh;
Dede Yusuf

A.   Asal Usul Nama Subang

Asal usul nama kota Subang selain daripada nama Subang Larang sendiri, ada cerita dari Kasepuhan kalaulah nama Subang di ambil dari cerita ketika Mbah Rangga Wulung alias Astra Prawira beserta rengrengan mencoba memasukan berbagai jenis pohon tanaman ke dalam pusaran air yg terletak di poncol Gunung Sapotong ( yang kini bernama Bumi Perkemahan Rangga Wulung ) untuk mengetahui di manakah akhir dari pusaran air tersebut berada. Namun setelah beberapa kali mencoba hal itu tidak diketahui dengan menelusuri ke semua sumber air, semua tanaman hasil coba ada.
Hingga terbersit suatu cara yaitu dengan memasukan seekor anjing merah ke dalam pusaran air tersebut yang kemudian diselusuri di sumber air manakah anjing tersebut akan muncul. Ternyata anjing tersebut keluar di sumber air yg berada di Park ( Parek org sunda bilang ) tanah kosong sebelah bangunan Hotel Subang Plaza yg hingga kini tanah kosong tersebut tak terurus dan takkan mungkin di dirikannya sebuah bangunan sehubungan tanah tsb mengandung banyak air karena bekas adanya kubangan besar. Namun di sanalah kota Subang aslinya adalah tanah Park dan sekitarnya. Nama Subang berasal dari Asu Abang yg artinya Anjing Merah. Ada sumber lain mengatakan bahwa Subang singkatan dari Swiss ( Suis org sunda bilang ) Bank ( Bang ) yang berarti Subang itu adalah merupakan Bank Dunia karena semua harta peninggalan para leluhur kita terbanyak ada di daerah Subang. Jangankan untuk membayar semua hutang2 negara kita Indonesia kepada luar negeri, untuk membeli negara Amerika pun kita mampu dengan tergalinya semua harta terpendam peninggalan para leluhur kita. Menurut penuturan kasepuhan Subang itu sepuh ( tua ) karena tanah Subang sudah bernama pada tahun 22, dapat kita bayangkan berapa usia kota Subang sekarang. Namun benar atau tidaknya cerita para sesepuh Subang tersebut hanya waktu /dawuh yang akan membuktikan hal tersebut. Di samping itu tentunya hanya yang empunya Subang nya yg akan bisa mengambilnya tanpa syarat apapun yakni Ibu Subang Larang sendiri yang di yakini oleh kasepuhan Subang bahwa beliau sudah menetes ( natas, nitis, netes ) kepada salah seorang rahayat Subang.

B.     Periodesasi Sejarah Kabupaten Subang

1.      Masa Prasejarah

Bukti adanya kelompok masyarakat pada masa prasejarah di wilayah Kabupaten Subang adalah ditemukannya kapak batu di daerah Bojongkeding (Binong), Pagaden, Kalijati dan Dayeuhkolot (Sagalaherang). Temuan benda-benda prasejarah bercorak neolitikum ini menandakan bahwa saat itu di wilayah Kabupaten Subang sekarang sudah ada kelompok masyarakat yang hidup dari sektor pertanian dengan pola sangat sederhana.
Selain itu, dalam periode prasejarah juga berkembang pula pola kebudayaan perunggu yang ditandai dengan penemuan situs di Kampung Engkel, Sagalaherang.

2.      Masa Hindu-Budha

Pada saat berkembangnya corak kebudayaan Hindu, wilayah Kabupaten Subang menjadi bagian dari 3 kerajaan, yakni Tarumanagara, Galuh, dan Pajajaran. Selama berkuasanya 3 kerajaan tersebut, dari wilayah Kabupaten Subang diperkirakan sudah ada kontak-kontek dengan beberapa kerajaan maritim hingga di luar kawasan Nusantara. Peninggalan berupa pecahan-pecahan keramik asal Cina di Patenggeng (Kalijati) membuktikan bahwa selama abad ke-7 hingga abad ke-15 sudah terjalin kontak perdagangan dengan wilayah yang jauh. Sumber lain menyebutkan bahwa pada masa tersebut, wilayah Subang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Kesaksian Tome’ Pires seorang Portugis yang mengadakan perjalanan keliling Nusantara menyebutkan bahwa saat menelusuri pantai utara Jawa, kawasan sebelah timur Sungai Cimanuk hingga Banten adalah wilayah kerajaan Sunda.

3.      Masa Islam

Masa datangnya pengaruh kebudayaan Islam di wilayah Subang tidak terlepas dari peran seorang tokoh ulama, Wangsa Goparana yang berasal dari Talaga, Majalengka. Sekitar tahun 1530, Wangsa Goparana membuka permukiman baru di Sagalaherang dan menyebarkan agama Islam ke berbagai pelosok Subang.

4.      Masa Kolonialisme

Pasca runtuhnya kerajaan Pajajaran, wilayah Subang seperti halnya wilayah lain di P. Jawa, menjadi rebutan berbagai kekuatan. Tercatat kerajaan Banten, Mataram, Sumedanglarang, VOC, Inggris, dan Kerajaan Belanda berupaya menanamkan pengaruh di daerah yang cocok untuk dijadikan kawasan perkebunan serta strategis untuk menjangkau Batavia. Pada saat konflik Mataram-VOC, wilayah Kabupaten Subang, terutama di kawasan utara, dijadikan jalur logistik bagi pasukan Sultan Agung yang akan menyerang Batavia. Saat itulah terjadi percampuran budaya antara Jawa dengan Sunda, karena banyak tentara Sultan Agung yang urung kembali ke Mataram dan menetap di wilayah Subang. Tahun 1771, saat berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, di Subang, tepatnya di Pagaden, Pamanukan, dan Ciasem tercatat seorang bupati yang memerintah secara turun-temurun. Saat pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816) konsesi penguasaan lahan wilayah Subang diberikan kepada swasta Eropa. Tahun 1812 tercatat sebagai awal kepemilikan lahan oleh tuan-tuan tanah yang selanjutnya membentuk perusahaan perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden (P & T Lands). Penguasaan lahan yang luas ini bertahan sekalipun kekuasaan sudah beralih ke tangan pemerintah Kerajaan Belanda. Lahan yang dikuasai penguasa perkebunan saat itu mencapai 212.900 ha. dengan hak eigendom. Untuk melaksanakan pemerintahan di daerah ini, pemerintah Belanda membentuk distrik-distrik yang membawahi onderdistrik. Saat itu, wilayah Subang berada di bawah pimpinan seorang kontrilor BB (bienenlandsch bestuur) yang berkedudukan di Subang.

5.      Masa Nasionalisme

Tidak banyak catatan sejarah pergerakan pada awal abad ke-20 di Kabupaten Subang. Namun demikian, Setelah Kongres Sarekat Islam di bandung tahun 1916 di Subang berdiri cabang organisasi Sarekat Islam di Desa Pringkasap (Pabuaran) dan di Sukamandi (Ciasem). Selanjutnya, pada tahun 1928 berdiri Paguyuban Pasundan yang diketuai Darmodiharjo (karyawan kantor pos), dengan sekretarisnya Odeng Jayawisastra (karyawan P & T Lands). Tahun 1930, Odeng Jayawisastra dan rekan-rekannya mengadakan pemogokan di percetakan P & T Lands yang mengakibatkan aktivitas percetakan tersebut lumpuh untuk beberapa saat. Akibatnya Odeng Jayawisastra dipecat sebagai karyawan P & T Lands. Selanjutnya Odeng Jayawisastra dan Tohari mendirikan cabang Partai Nasional Indonesia yang berkedudukan di Subang. Sementara itu, Darmodiharjo tahun 1935 mendirikan cabang Nahdlatul Ulama yang diikuti oleh cabang Parindra dan Partindo di Subang. Saat Gabungan Politik Indonesia (GAPI) di Jakarta menuntut Indonesia berparlemen, di Bioskop Sukamandi digelar rapat akbar GAPI Cabang Subang untuk mengenukakan tuntutan serupa dengan GAPI Pusat.

6.      Masa Pendudukan Jepang

Pendaratan tentara angkatan laut Jepang di pantai Eretan Timur tanggal 1 Maret 1942 berlanjut dengan direbutnya pangkalan udara Kalijati. Direbutnya pangkalan ini menjadi catatan tersendiri bagi sejarah pemerintahan Hindia Belanda, karena tak lama kemudian terjadi kapitulasi dari tentara Hindia Belanda kepada tentara Jepang. Dengan demikian, Hindia Belanda di Nusantara serta merta jatuh ke tangan tentara pendudukan Jepang. Para pejuang pada masa pendudukan Belanda melanjutkan perjuangan melalui gerakan bawah tanah. Pada masa pendudukan Jepang ini Sukandi (guru Landschbouw), R. Kartawiguna, dan Sasmita ditangkap dan dibunuh tentara Jepang.

7.      Masa Kemerdekaan

Proklamasi Kemerdekaan RI di Jakarta berimbas pada didirikannya berbagai badan perjuangan di Subang, antara lain Badan Keamanan Rakyat (BKR), API, Pesindo, Lasykar Uruh, dan lain-lain, banyak di antara anggota badan perjuangan ini yang kemudian menjadi anggota TNI. Saat tentara KNIL kembali menduduki Bandung, para pejuang di Subang menghadapinya melalui dua front, yakni front selatan (Lembang) dan front barat (Gunung Putri dan Bekasi). Tahun 1946, Karesidenan Jakarta berkedudukan di Subang. Pemilihan wilayah ini tentunya didasarkan atas pertimbangan strategi perjuangan. Residen pertama adalah Sewaka yang kemudian menjadi Gubernur Jawa Barat. Kemudian Kusnaeni menggantikannya. Bulan Desember 1946 diangkat Kosasih Purwanegara, tanpa pencabutan Kusnaeni dari jabatannya. Tak lama kemudian diangkat pula Mukmin sebagai wakil residen. Pada masa gerilya selama Agresi Militer Belanda I, residen tak pernah jauh meninggalkan Subang, sesuai dengan garis komando pusat. Bersama para pejuang, saat itu residen bermukim di daerah Songgom, Surian, dan Cimenteng. Tanggal 26 Oktober 1947 Residen Kosasih Purwanagara meninggalkan Subang dan pejabat Residen Mukmin yang meninggalkan Purwakarta tanggal 6 Februari 1948 tidak pernah mengirim berita ke wilayah perjuangannya. Hal ini mendorong diadakannya rapat pada tanggal 5 April 1948 di Cimanggu, Desa Cimenteng. Di bawah pimpinan Karlan, rapat memutuskan : 1.Wakil Residen Mukmin ditunjuk menjadi Residen yang berkedudukan di daerah gerilya Purwakarta. 2.Wilayah Karawang Timur menjadi Kabupaten Karawang Timur dengan bupati pertamanya Danta Gandawikarma. 3.Wilayah Karawang Barat menjadi Kabupaten Karawang Barat dengan bupati pertamanya Syafei. Wilayah Kabupaten Karawang Timur adalah wilayah Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta sekarang. Saat itu, kedua wilayah tersebut bernama Kabupaten Purwakarta dengan ibukotanya Subang. Penetapan nama Kabupaten Karawang Timur pada tanggal 5 April 1948 dijadikan momentum untuk kelahiran Kabupaten Subang yang kemudian ditetapkan melalui Keputusan DPRD No. : 01/SK/DPRD/1977.
C.   Rujukan
Mandja, T. S. (2013, Juni 12). Sejarah Kabupaten Subang Jawa Barat. Dipetik Agustus 22, 2013, dari Toto Si Mandja: http://www.totosimandja.com/2012/06/sejarah-kabupaten-subang.html
Subang. (2010). Sejarah. Dipetik Agustus 22, 2013, dari Pemerintah Kabupaten Subang: http://www.subang.go.id/sejarah.php
Wikipedia. (2013, April 19). Kabupaten Subang. Dipetik Agustus 22, 2013, dari Wikipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Subang

Rabu, 21 Agustus 2013

SUNDA KELAPA SEBAGAI BANDAR DI JALUR SUTRA: LAPORAN PENELITIAN (ANALISIS BUKU)


SUNDA KELAPA SEBAGAI BANDAR DI JALUR SUTRA: LAPORAN PENELITIAN
(ANALISIS BUKU)
oleh;
Dede Yusuf

A.    Tentang Buku

Judul              : Sunda Kelapa sebagai bandar di jalur sutra: laporan penelitian
Penulis            : Supratikno Raharjo, M. P. B. Manus, Pius Suryo Haryono
Tahun Terbit : Jakarta, 1996
Penerbit          : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI
Jumlah Hal.   : 67 halaman

B.     Deskripsi Buku

Sejak abad IV, nama Sunda Kelapa sudah dikenal sebagai kota pelabuhan. Namun, perannya di kawasan pantai utara Jawa semakin penting pada abad IX hingga XV. Menurut naskah-naskah kuno, nama bandar ini adalah Kalapa, tetapi para pelaut Portugis menyebutnya Sunda Kelapa. Letaknya di Teluk Jakarta, terlindung oleh pulau-pulau dalam gugusan Kepulauan Seribu. Secara alamiah, keadaan ini amat menguntungkan untuk sebuah bandar. Kapal-kapal dapat berlabuh dengan tenang dan aman. Selain itu, posisinya yang berada di muara sungai amat strategis, karena dapat mempercepat hubungan pelayaran serta perdagangan antara daerah pesisir dan pedalaman.
Inilah bandar terbaik yang dimiliki Kerajaan Sunda (Hindu) Padjajaran. Sebagai pelabuhan utama yang menguasai industri hilir hingga hulu, Sunda Kelapa menjadi pusat penyalur hasil produksi dari pedalaman maupun dari bandar-bandar lainnya, dan kemudian mendistribusikannya ke luar negeri melalui jaringan perdagangan  dan pelayaran internasional. Pelabuhan yang termasuk dalam jalur sutera laut ini selalu dikunjungi para pedagang dari mancanegara. Kota pelabuhannya pun dikenal tertib dan teratur. Bahkan telah memiliki pengadilan yang lengkap, berikut dengan hakim dan paniteranya.
Pada 1526, Sunda Kelapa dikuasai oleh Kerajaan Demak-Cirebon yang sebelumnya telah menduduki Banten. Pada masa itu namanya menjadi Jayakarta. Kedudukannya sebagai bandar terbesar dan terpenting perlahan-lahan mulai memudar karena digantikan oleh Banten. Secara politis maupun ekonomis, peranan bandar ini pun menjadi tenggelam, namun tetap diperhitungkan sebagai daerah penyangga Banten. Pelabuhan ini tetap disinggahi kapal yang membutuhkan bahan makanan dan air minum.
Keadaan pelabuhan ini menjadi hidup kembali saat VOC menguasai bandar ini. Setelah melihat tempat-tempat yang tepat sebagai titik temu kegiatan perdagangan di Asia, dari Koromandel sampai Cina, perusahaan dagang Belanda ini menjatuhkan pilihan ke Jayakarta. Maka pada 1619 , Jayakarta berubah menjadi Batavia. Di tempat ini kemudian dibangun pusat militer dan administrasi VOC. Sejak itu, Batavia menjadi kota pelabuhan yang berkembang pesat dan dihuni puluhan ribu orang dari berbagai bangsa.

C.    Analisis Historiografi Buku

1.      Pada awal abad Masehi hubungan antara Jawa Barat khususnya Sunda Kelapa dengan India telah terjalin. Agama Hindupun diperkenalkan di Jawa Barat. Kontak dengan India tidak hanya karena pedagang-pedagang Gujarat dari India yang datang tetapi orang-orang dari kerajaan di Jawa Baratpun berkunjung ke India. Cara ini juga membawa pengaruh India atau Hindu ke Jawa Barat.
Disini dijelaskan bahwa masuknya agama Hindu ke Jawa Barat tidak hanya dibawa oleh orang-orang India, tetapi orang-orang dari Kerajaan pun berkunjung ke India untuk mempelajari agama Hindu, dengan kata lain terdapat peran orang-orang Nusantara dalam menyebarkan dan membawa agama Hindu.
2.      Sebelum masuknya unsur-unsur kebudayaan Hindu, belum dikenal adanya Raja ataupun Kerajaan. Yang ada hanya sebuah masyarakat dalam bentuk satu kampung atau satu desa. Kemudian beberapa kampung atau desa membentuk sebuah persekutuan yang lebih besar sering disebut suku atau lingkungan adat yang dikepalai oleh seorang Kepala Suku atau seorang Kepala Adat yang dipercaya karena mempunyai banyak pengetahuan, pengalaman, bijaksana, gagah berani, dan mempunyai kesaktian atau memiliki kemampuan yang luar biasa.
Diatas dijelakan bahwa sebelum masuknya pengaruh Hindu, di Sunda Kelapa sebelumnya telah ada sistem oraganisasi sosial yang dimana adanya Kepala Suku atau Kepala Adat yang menaungin masyarakat dalam satu kampuang atau desa yang selanjutnyanya membuat persekutuan.
3.      Pada akhir abad 15 ketika Islam melakukan ekpansinya ke arah barat tempat ini menjadi sasaran untuk direbut. Pada saat itu juga Sunda Kelapa dikuasai Demak dan kemudian beralih ke tangan Kesultanan Banten yang juga beragama Islam. Ketika VOC bercokol di tempat ini akhirnya kota pelabuhan tersebut dihancurkan, dan ditempat ini pula VOC kemudian mendirikan pusat kegiatan dagang dengan membangun kota baru yang diberi nama Batavia.
Pada masa Sunda Kelapa dikuasai oleh VOC, seolah-olah VOC digambarkan kurang begitu baik terlihat pada kalimat kedua Ketika VOC bercokol ditempat ini bahasa yang digunakan tidak menguasai namun bercokol.
4.      Secara makro, bandar Sunda Kelapa dapat dipandang sebagai sebuah titik yang menghubungkan titik-titik lain yang lebih luas disepanjang jalur dagang dunia. Jalur ini menghubungkan wilayah barat yang ujungnya Eropah dan wilayah timur yang ujungnya Cina. Meskipun demikian pada dalam kenyataan hubungan dagang yang terjadi tidak hanya melibatkan bangsa-bangsa Eropah dan Cina saja, tetapi juga bangsa-bangsa lain yang berada disepanjang jalur tersebut, terutama adalah bangsa Arab, Persia dan India.
Sunda Kelapa sebagai sebuah bandar di dunia yang digambambarkan seolah-olah sebagai tempat yang sentral dan memiliki peran yang penting dalam menghubungkan jalur perdagangan dunia.
5.      Munculnya Tarumanegara pada paruh kedua abad ke-15, menandai masuknya zaman baru di wilayah Jawa Barat pada umumnya. Masa ini tidak hanya menandai awal pengenalan peradaban bacatulis, tetapi juga awal kehidupan bernegara, yaitu tatanan masyarakat yang mengakui pengendalian terpusat sebagai konsekuensi dari pengakuan atas kekuasaan sebagai kelompok masyarakat yang berkuasa atas yang lain.
Hadirnya kerajaan Tarumanegara membawa suatu dampak besar yang akhirnya menandai peradaban bacatulis, bernegara, dan tatanan mayarakat yang lebih terpusat, dan seolah-oleh dikuranginya peran India yang dimana bahasa yang digunakan bahasa Sansekerta dan hurup Pallawa yang sebenarnya itu berasal dari India.
6.      Sumber sejarah menyebutkan bahwa kerajaan Sunda memiliki enam pelabuhan yang ramai dan penting, masing-masing adalah pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, dan Cimanuk, dan Kalapa. Pelabuhan Kalapa ini yang dianggap terpenting dapat ditempuh selama dua hari perjalanan dari ibukota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo. Melalui keenam bandar tadi dilakukan hubungan perdagangan dengan negara-negara lain, SNI II (1976; 242-3).
Sunda Kelapa disini digambarkan sebagai suatu negara, yang telah menjalin hubungan dagang dengan negara-negara lain, menggunakan keenam pelabuhanya.
7.      Dari skripsi yang diberikan itu menyimpulkan bahwa Sunda Kelapa mempunyai laut, yaitu teluk Jakarta yang baik untuk memudahkan perahu-perahu merapat ke Sunda Kelapa, dan dengan demikian sangat menguntungkan bagi pelayaran. Di samping itu sungai ciliwung-pun merupakan suatu kemudahan bagi kebutuhan primer perahu-perahu tersebut, yaitu mudahnya memperoleh air minum untuk bekal dan melanjutkan pelayaran dari barat ke timur dan sebaliknya, yaitu pelayaran dalam cabang jalur jalan sutera, dari Asia Barat ke Asia Timur, tetapi juga dalam jalur pelayaran dari Maluku ke Malaka dan sebaliknya.
Posisi Sunda Kelapa digambarkan sebagai tempat merapatnya kapal-kapal dan menguntungkan bagi pelayaran. Sunda Kelapa pun sebagai transit yang strategis bagi pelayaran dalam cabang jalan jalur sutera, dari Asia Barat ke Asia Timur.
8.      Jalur pelayaran yang ke China melalui kepulauan Nusantara ada dua. Yang pertama melalui selat Malaka dan yang kedua melalui selat Sunda. Oleh sebab itu untuk mengisi perbekalan untuk pelayaran jarak jauh, terutama perbekalan kebutuhan primer, yaitu air, bahan makanan dan kayu api. Sunda Kelapalah merupakan tempat persinggahan yang ideal. Perkembangan komunikasi terjadi meskipun Sunda Kelapa tidak menghasilkan lada, tetapi hubungan yang terjalin dengan daerah Mataram, Banten, Palembang, Banjarmasin, dan tempat-tempat lain di kepulauan Nusantara bermanfaat. Hubungan-hubungan ini memberi peluang bagi Sunda Kelapa menjadi suatu tempat interaksi antar tempat pertemuan berbagai bangsa. Tempat pertemuan ini kemudian berkembang menjadi stapple place.
Keadaan geografis Sunda Kelapa sebagai sebagai suatu bandar yang menghubungkan atau pertemuan berbagai bangsa, bahkan dikatakan sebagai stapple place.
9.      Jenis hubungan Sunda Kelapa dengan dunia luar adalah tidak saja dalam bidang perdagangan, tetapi juga dalam bidang agama.
Hegemoni Sunda Kelapa yang seolah-olah sejajar dengan negara lain, memiliki hubungan tidak hanya perdagangan namun dalam bidang agama pun Sunda Kelapa memiliki peranan.
10.  Peranan Sunda Kelapa baik sebagai pelabuhan maupun sebagai tempat pertemuan berbagai bangsa tidak mungkin dibahas tanpa melibatkan peranan laut tanpa sarana komunikasi. Bagi kepulauan Nusantara pada umumnya dan bagi Sunda Kelapa pada umumnya, laut merupakan faktor yang mempengaruhi kehidupan penduduknya (Chanduri, 121).
Sunda Kelapa disini digambarkan sebagai tempat pertemuan antar bangsa yang baik, dipengaruhi oleh faktor internal geografisnya dimana peranan lautnya sangat strategis sebagai sarana komunikasi.
11.  Juga disebut Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang diatur dengan baik sekali dan dikuasai kerajaan Hindu Pajajaran (Meil, 133). Selain rempah-rempah dan bahan makanan, Sunda Kelapa meningkatkan perdagangannya dengan mengadakan kontak dengan kepulauan Maldives yang terletak di Samudera Hindia. Dari sini Sunda Kelapa mendatangkan budak untuk selanjutnya diperdagangkan kembali. Perdagangan dengan kepulauan Maldives cukup ramai.
Sunda Kelapa digambarkan sebagai pelabuhan yang baik sekali, dan telah mengadakan hubungan perdagangan dengan negara lain seperti Kepulauan Maldives.
12.  Akar wangi merupakan produk dari Himalaya sekitar Kashmir, komoditi ini diekspor baik dari Bombay maupun dari Kalkuta. Komoditi-komoditi yang diperdagangkan di Sunda Kelapa menunjukan bahwa di Sunda Kelapa sudah mengenal berbagai barang mewah dari berbagai penjuru dunia, merekapun sudah giat mencari peluang-peluang baru untuk mengembangkan perdagangannya, namun mereka tidak mustahil juga, apabila mereka sudah mempunyai kemampuan untuk menikmati kehidupan yang cukup mewah menurut ukuran zamannya.
Digambarkan kehidupan Sunda Kelapa pada waktu itu sudah mengenal barang mewah dari penjuru dunia menurut ukuran zamannya, ini menunjukan bahwa bandar Sunda Kelapa banyak dikunjungi oleh para pedagang Asing.
13.  Sejak abad awal tarikh Masehi, Sunda Kelapa agaknya sudah dikenal diberbagai penjuru dunia. Hal ini dapat dilihat dengan diterimanya agama Hindu di pusat kerajaan dan adanya berita-berita China yang berasal dari abad awal Masehi. Jadi pelayaran itu sudah dilakukan antara Asia Tenggara, termasuk Sunda Kelapa.
Sunda Kelapa merupakan bandar yang terkenal di penjuru dunia, telah ada pelayaran antar Asia Tenggara dan termasuk didalammya Sunda Kelapa.
14.  Sunda Kelapa sebagai titik pertemuan antar bangsa yang perlu dilihat dari sudut keletakannya. Dalam skala luas, Sunda Kelapa terletak di daerah kepulauan di wilayah Asia Tenggara.
Dari kalimat tersebut Sunda Kelapa digambarkan sebagai titik pertemuan antar bangsa, dan seolah-olah memiliki peran sentral pada letaknya geografisnya.

D.    Kesimpulan

Laporan hasil penelitian yang berjudul Sunda Kelapa sebagai Bandar di Jalur Suteta ini sesungguhnya merupakan salah satu dari pelaksanaan proyek penelitian dengan tema “Kota-kota Bandar Sepanjang Jalur Sutera” (Harbour Cities Along the Silk Roads). Buku ini merupakan salah satu hasil pelaksanaan kegiatan yang diselenggarakan oleh Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam tahun 1994/1995.
Buku ini termasuk kedalam jenis Sejarah Akademik yang dimana  dalam menganalisis Bandar Sunda Kelapa penulis mengawalinya dengan pertanyaan pokok yang merupakan rumusan masalah dari penelitiannya. Untuk mengkaji dan menjelaskan Bandar Sunda Kelapa tersebut Penulis menggunakan alat bantu dan teori ilmu-ilmu sosial lainya seperti ilmu arkeologi, sejarah dan geografi. Dengan demikian model penulisan sejarah seperti ini memperlihatkan sebagai suatu penulisan sejarah ilmiah.
Dari hasil analisis historiografi yang telah dilakukan terhadap buku Sunda Kelapa sebagai Bandar di Jalur Sutera, dapat disimpulkan bahwa buku ini bersifat atau menganut paham penulisan sejarah yang Indonesiasentrisme. Didalam buku ini banyak menampilkan peran bangsa Indonesia (Sunda Kelapa-Jawa Barat), sebagai peran utama dalam sejarahnya. Seperti salah satunya dijelaskan bahwa masuknya agama Hindu ke Jawa Barat tidak hanya dibawa oleh orang-orang India, tetapi orang-orang dari Kerajaan pun berkunjung ke India untuk mempelajari agama Hindu, dengan kata lain terdapat peran orang-orang Nusantara dalam menyebarkan dan membawa agama Hindu. Ini pun dipengaruhi oleh subjektifitas penulisnya yang dimana merupakan tim yang dibentuk oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.


DAFTAR PUSTAKA

Supratikno Raharjo, dkk. 1996. Sunda Kelapa sebagai Bandar di Jalur Sutra. Laporan Penelitian. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Agus Mulyana & Darmiasti (2009), Historiografi Di Indonesia Dari Magis-Religius Hingga Strukturis, Bandung: Refika Utama.
SNI (Sejarah Nasional Indonesia). Jilid II dan III. 1976. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Guillot, C. 1992. Perjanjian dan Masalah Perjanjian antara Portugis dan Sunda tahun 1522. Aspek-aspek Arkeologi Indonesia. No. 13 Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Meilink-Roelofsz, M.A.P. 1969. Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago Between 1500 and About. 1930 (Reprint) The Hague: Martinus Nijhoff.


LAMPIRAN

Sampul dan Daftar Isi Buku