Perbedaan Antropologi dan Sosiologi
oleh ;
Dede Yusuf
(ria.choosen.net)
Dilihat dari Sejarahnya: Perbedaan Antropologi dan Sosiologi
A. Fase-fase Perkembangan Ilmu Antropologi
1.
Fase
Pertama (Sebelum 1800)
Ditandai dengan datangnya bangsa Eropa Barat ke Benua
Afrika, Asia dan Amerika selama 4 abad (sejak akhir abad ke-15 hingga permulaan
abad ke-16) membawa pengaruh terhadap berbagai suku bangsa ketiga benua
tersebut. Bersamaan dengan kedatangan Bangsa Eropa Barat tersebut, mulai
terkumpul tulisan-tulisan dari hasil buah tangan musafir, pelaut, para pendeta
Nasrani, Penerjemah Kitab Injil, dan pengawai pemerintah jajahan dalam bentuk
kisah perjalanan dan laporan. Buku-buku tersebut atau laporan tersebut
didalamya berisikan tentang: adat-istiadat, susunan masyarakat, dan ciri-ciri
fisik dari beragam suku bangsa dari benua-benua yang dikunjunginya. Bahan
deskripsi itu disebut etnografi dari kata ethos=bangsa.
Pada permulaan abad ke-19 perhatian terhadap himpunan
pengetahuan tentang masyarakat, adat-istiadat, dan ciri-ciri fisik
bangsa-bangsa di luar Eropa dari pihak dunia ilmiah menjadi sangat besar,
demikian besarnya sehingga timbul usaha-usaha pertama dari dunia ilmiah untuk
mengintegrasikan seluruh himpunan bahan pengetahuan etnografi menjadi satu.
2.
Fase
Kedua (Kira-kira pertengahan abad ke-19)
Fase kedua ini merupakan fase dimana, Integrasi tentang
deskripsi Etnografi yang sungguh-sungguh
baru, timbul pada pertengahan abad ke-19. Karangan-karangan etnografi tersebut
tersusun berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat. Timbulnya beberapa
karangan sekitar 1860, yang mengklasifikasikan bahan tentang beragam kebudayaan
diseluruh dunia ke dalam tingkat-tingkat evolusi tertentu, maka timbulah ilmu antropologi.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa fase
perkembangannya yang kedua ini ilmu antropologi berupa ilmu yang akademikal,
dengan tujuan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari masyarakat dan
kebudayaan primitif dengan maksud untuk mendapat suatu pengertian tentang
tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan
manusia.
3.
Fase
Ketiga (Permulaan abad ke 20)
Pada permulaan abad ke 20, sebagian negara penjajah di
Eropa berhasil untuk mencapai kemantapan kekuasaan di daerah-daerah jajahan
diluar Eropa. Untuk keperluan pemerintah jajahannya tadi, yang waktu itu mulai
berhadapan langsung dengan bangsa-bangsa terjajah diluar Eropa, maka
antropologi sebagai suatu ilmu yang justru mempelajari bangsa-bangsa di
daerah-daerah di luar Eropa itu, menjadi sangat penting.
Dalam fase ketiga ini ilmu antropologi menjadi suatu ilmu
yang praktis, dan tujuannya dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari
masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa diluar Eropa guna kepentingan
pemerintah kolonial dan guna mendapat suatu pengertian tentang masyarakat masa
kini yang kompleks.
4.
Fase
Keempat (sesudah kira-kira 1930)
Dalam fase keempat ini ilmu antropologi mengalami
perkembangan yang paling luas, baik mengenai bertambahnya bahan pengetahuan
yang jauh lebiih teliti, maupun mengenai ketajaman metode-metode ilmiahnya.
Selain itu kita lihat adanya dua perubahan di dunia:
a.
Timbulnya
antipati terhadap kolonialisme sesudah Perang Dunia II.
b. Cepat
hilanhnya bangsa-bangsa primitif (dalam arti bangsa-bangsa asli dan terpencil
dari pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika) yang sekitar 1930 mulai hilang, dan
sesudah Perang Dunia II memang hampir tidak ada lagi di muka bumi ini.
Proses-proses tersebut menyebabkan ilmu antropologi
seolah-olah kehilangan lapangan, dan dengan demikian terdorong untuk
mengembangkan lapangan-lapangan penelitian dengan pokok dan tujuan yang baru.
Mengenai tujuannya, ilmu antropologi yang baru dalam fase
perkembangannya yang keempat ini dapat dibagi dua, yaitu tujuan akademikal dan
tujuan praktisnya. Tujuan akademisnya adalah mencapai pengertian tentang
makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari keragaman bentuk fisiknya,
masyarakat serta kebudayaannya. Karena didalam praktik ilmu antropologi
biasanya mempelajari masyarakat suku bangsa, maka tujuan praktisnya mempelajari
manusia dalam keragaman masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku
bangsa itu.
B. Fese-fase Perkembangan Ilmu Sosiologi
1.
Fase
Pertama
Pada mulanya ilmu
sosiologi hanya merupakan bagian dari ilmu filsafat. Para ahli filsafat yang
menganalisis segala hal yang ada dalam alam sekelilingnya, juga tidak lupa
memikirkan tentang masyarakatnya. Dengan demikian di dalam ilmu filsafat ada
suatu bagian yang disebut filsafat sosial. Sejak abad ke-19, teori-teori dan
konsep filsafat sosial itu telah berubah, sejajar dengan berbagai perubahan
aliran filsafat dan latar belakang cara berpikir orang Eropa Barat.
2.
Fase
Kedua
Fase kedua ini ditandai dengan timbulnya krisis-krisis
besar dalam masyarakat bangsa Eropa (seperti Revolusi Perancis, Revolusi
Industri dan sebagainya), kegiatan tentang menganalisis tentang masalah-masalah
dalam masyarakat semakin digalakkan. Bahkan ketika sarjana ilmu filsafat, yaitu
H. De Saint-Simon (1760-1852) dan Aguste Comte (1789-1857) mengumumkan teori
mereka tentang sifat positif terhadap semua ilmu pengetahuan juga dari ilmu
tentang masyarakat atau sosiologi menyadarkan bahwa ada suatu ilmu sosiologi
tersendiri. Bila dalam filsafat sosial berbagai macam pemikiran tentang
masyarakat manusia masih dapat diklasifikasikan sejajar dengan adanya
aliran-aliran filsafat besar di dunia Eropa Barat, ketika ilmu sosiologi
memisahkan diri sebagai ilmu khusus, hal itu menjadi sukar. Perjuangan mengenai
dasar-dasar, tujuan dan metode-metode dari ilmu yang baru itu, di antara
berbagai sarjana menimbulkan banyak aliran yang saling bertentangan dan cepat
berubah.
Dari penjelasan tentang sejarah perkembangan ilmu
antropologi-sosial dan imu sosiologi di atas, kita dapat melihat perbedaan
kedua ilmu ini dari kacamata sejarahnya, sangatlah nyata tentang perbedaan
kedua ilmu tersebut. Ilmu antropologi mulai sebagai suatu himpunan bahan
keterangnan tentang masyarakat dan kebudaan masyarakat di luar wilayah Eropa,
seperti benua Afrika, Asia, Amerika dan sebagainya. Yang dijadikan sebagai ilmu
khusus karena kebutuhan orang Eropa untuk mendapat pengertian tentang
tingkat-tingkat permulaan dalam sejarah perkembangan masyarakat dan
kebudayaanya sendiri. Sebaliknya, ilmu sosiologi pada awalnya merupakan bagian
dari ilmu filsafat sosial, kemudian menjadi ilmu khusus karena bangsa Eropa
memerlukan suatu pengetahuan yang lebih mendalam mengenai asa-asas masyarakat
dan kebudayaannya sendri akibat krisis yang melanda.
Dilihat dari Pokok Ilmiahnya (Objek Penelitiannya): Perbedaan Antropologi dengan Sosiologi
Sejarah perkembangan ilmu antropologi telah mencatat
bahwa ilmu itu sejak mulanya hingga sekarang objek-objek penelitiannya masih
tertuju pada masyarakat dan kebudayaan suku bangsa yang hidup di luar
langkungan kebudayaan bangsa-bangsa Eropa dan Amerika Modern. Sebaliknya,
sejarah perkembangan ilmu sosiologi mencatat bahwa ilmu itu sejak mula hingga
sekarang objek-objek penelitiannya tertuju pada masyarakat dan kebudayaan
bangsa-bangsa yang hidup dalam lingkungan kebudayaan Eropa dan Amerika.
Namun pada fese perkembangan keempat ilmu antropologi,
para sarjana antropologi juga mulai memperhatikan tentang gejala-gejala
masyarakat dan lingkungan kebudayaan masyarakat Eropa dan Amerika, sedangkan
sejak kira-kira akhir abad ke-19 banyak penelitian sosiologi yang mulai
mengolah tentang masyarakat suku bangsa pribumi di luar wilayah Eropa dan
Amerika.
Lingkungan masyarakat dan kebudayaan Eropa-Amerika itu dapat dilokasikan dalam kota-kota tidak hanya di negara-negara
Eropa dan Amerika, tetapi juga di kota-kota di Afrika, Asia, Oseania dan Amerika
Latin. Di luar kota-kota di Afrika, Asia, Oseania dan Amerika Latin itu
sifat-sifat kebudayaan Eropa-Amerika mulai berkurang, dan makin jauhlah kita
pergi dari lingkungan masyarakat perkotaan, dan masuk ke dalam masyarakat
pedesaan, maka makin berkuranglah unsur-unsur Eropa-Amerika itu. Berdasarkan
dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa ilmu antropologi-sosial terutama
mencari objek-objek penelitiannya di dalam masyarakat pedesaan, sedangkan sosiologi
di dalam masyarakat perkotaan. Tetapi pegangan tersebut belum bisa dijadikan
sebagai pegangan mutlak dalam hal menentukan perbedaan antropologi dan sosiologi
dilihat dari objek penelitiannya. Ini desebabkan karena pada akhir-akhir ini
tampak gejala bahwa para ahli antropologi pun mulai mencari objek-objek
masayarakat yang lebih kompleks atau masyarakat perkotaaan, sebaliknya dalam
sosiologi, terutama di Amerika sejak lama berkembang suatu kejuruan yaitu
sosiologi pedesaan (rural Sociology) yang memperhatikan tentang masalah-masalah
pertanian dalah kehidupan kota kecil masyarakat pedesaan di Amerika Serikat.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulakan perbedaan
dari antropologi dan sosiologi tidak
dapat ditentukan oleh perbedaan antara masyarakat suku bangsa luar lingkungan
Eropa-Amerika dengan bangsa-bangsa Eropa-Amerika. Kemudian kalau perbedaan itu
juga tidak dapat ditentukan oleh perbedaan antara masyarakat pedesaan dengan
masyarakat perkotaan, maka perbedan nyata harus dicari, yaitu kedua ilmu
memakai metode ilmiah yang berbeda.
Dilihat dari Metode Ilmiahnya: Perbedaan Antropologi dan Sosiologi
Antropologi mempunyai pengalaman yang lama dalam hal
meneliti kebudayaan-kebudayaan suku bangsa penduduk pribumi di Amerika, Asia,
Afrika, dan Oseania. Suku-suku bangsa itu biasanya hidup dalam masyarakat
pedesaan yang kecil, yang dapat diteliti keseluruhannya sebagai kebulatan.
Sebaliknya ilmu sosiologi selalu lebih memusatkan perhatiannya pada unsur-unsur
gejala khusus dalam masyarakat manusia, dengan menganalisis kelompok-kelompok
sosial yang khusus (social groupings),
hubungan antar kelompok-kelompok atau individu-individu (social relations) atau proses-proses yang terdapat dalam kehidupan
suatu masyarakat (social processes).
Pengalaman dalam hal meneliti masyarakat kecil telah
memberi kesempatan kepada para ahli antropologi untuk mengembangkan berbagai
berbagai metode penelitian yang bersifat penelitian intensif dan mendalam
misalnya dengan metode wawancara. Sebaliknya, para ahli sosiologi yang biasanya
meneliti masyarakat kompleks atau kota, lebih banyak menggunakan berbagai metode
yang bersifat penelitian meluas, seperti dengan metode angket.
Dunia antropologi mempunyai pengalaman yang lama dalam
menghadapi keragaman (diversitas) di dalam bentuk kebudayaan dalam masyarakat
kecil yang tersebar di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan berkembangnya
berbagai metode mengumpulkan bahan yang mengkhusus ke dalam, kualitatif: serta
metode pengolahan dan analisis yang bersifat membandingkan, Komparatif.
Sosiologi lebih banyak berpengalaman dalam meneliti
gejala masyarakat perkotaan yang kompleks dan kurang memperhatikan sifat
beragam hidup masyarakat dan kebudayaan manusia yang menjangkau seluruh dunia.
Hal ini menyebabkan bergagai metode mengumumpulkan bahan yang lebih bersifat
meluas, merata dan berbagai metode pengolahan bahan dan analisis yang
berdasarkan perhitungan-perhitungan dalam jumlah besar. Metode-metode ini dapat
disebut dengan kuantitatif, seperti metode statistik.
Disamping adanya dua kompleks metode yang mempunyai
dasar-dasar yang berbeda, sebenarnya banyak metode peneliti lain yang sekarang
sudah dipakai oleh kedua ilmu itu bersama-sama, karena pada hakikatnya tujuan
dari kedua ilmu itu sama. Memang, antropologi-sosial dan sosiologi adalah dua
ilmu yang mempunyai dua kompleks metode yang saling dapat isi-mengisi dalam
proyek-proyek penelitian masyarakat yang sama.
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar
Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.