TANAM PAKSA KOPI DI PARAHYANGAN (1830-1870)
(Perekomian Pulau Jawa Dalam Abad Ke 19)
oleh;
Dede Yusuf
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Perkembangan perekonomian pulau Jawa dalam abad ke 19,
yaitu merupakan masa dimana terjadinya terjadinya sistem-sistem perekonomian
seperti sistem sewa tanah (land-rent),
sistem tanam paksa (Cultuurstelsel)
dan juga sistem ekonomi kolonial yang umumnya disebut sistem liberalisme.
Perekonomian pulau Jawa pada masa itu merupakan masa dimana rakyat pulau Jawa
tidak diuntungkan dalam kegiatan ekonomi, dikarenakan kegiatan ekonomi umumnya
dimonopoli oleh pemerintah kolonial. Namun disini penulis tidak akan membahas
ketiga kegiatan ekonomi tersebut namun memfokuskan pada kegiatan perekonomian
sistem tanam paksa kopi di Parahyangan 1830-1870. Pembahasan ini sangat
menarik dikarenakan sistem tanam paksa kopi di Parahyangan ini merupakan cikal
bakal lahirnya sistem tanam pakasa di daerah lain di Nusantara. Sitem tanam
paksa kopi di Parahyangan ini sebenarnya sudah ada sejak abad ke 18 yaitu
dengan nama Preanger Stelsel, yaitu dimana masyarakat pada waktu itu diwajibkan
untuk menanam kopi dikarenakan kopi pada waktu itu menjadi perimadona dunia dan
harganya sangat mahal. Oleh sebab itu di sini penulis tertarik untuk
menjelaskan tentang sistem tanam paksa kopi di Parahyangan 1830-1870 ini.
Semoga penulisan makalah ini bermanfaat bagi setiap yang membacanya.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah kegiatan perekomian masyarakat pada masa sitem tanam paksa
kopi di Parahyangan 1830-1870 berlaku ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lahirnya Sistem Tanam Paksa Kopi Di Parahyangan
Sitem tanam paksa di Indonesia
selalu di kaitkan dengan Gubernur Jendral Johannes Van Den Bosch, yang dimana sebagai
penggagas sistem tanam paksa di Indonesia. Sistem tanam paksa tersebut
dijalankan dari tahun 1830-1870. Namun bila kita mengacu pada pendapat Burger yang mengatakan bahwa “penanaman
kopi yang mulai dilakukan oleh kompeni dalam abad ke 18 di Parahyangan” (Burger, 1962, hal. 101)Disini Burger mengatakan bahwa
sistem tanam paksa di Indonesia sudah ada sejak abad ke 18, dan yang ditanam
disana bukanlah tebu, nila atau indigo melainkan kopi. Dikarenakan kopi pada
waktu itu menjadi perimadona dunia dan harganya sangat mahal. Terlepas daripada
itu ditambah pula pada waktu itu Pemerintah Belanda mengalami defisit keunagan
yang diakibatkan oleh perang Diponegoro 1825-1830, perang kemerdekaan Belgia
1830 dan ditambah pula utang luar negeri Belanda yang amat besar. Dan oleh
sebab faktor itu akhirnya pemerintah Belanda pun mengeluarkan kebijakan untuk
mengirimkan Gubernur Jendral Baru ke Indonesia untuk menggantikan Gubernut
Jendral Sebelumnya. Gubernur Jendral baru yaitu Johannes Van Den Bosch dan
setelah datang ke Indonesia Dia mengeluarkan kebijakan yaitu yang dikenal
dengan sistem tanam paksa atau dalam bahasa Belanda disebut Cultuurstelsel.
Dan salah satunya yaitu
melanjutkan sistem tanam paksa yang sudah ada di Parahyangan, yaitu sistem
tanam paksa kopi. Kopi yang ditanam di Parahyangan berasal dari India Selatan
dan bawa oleh pemerintah kolonial ke Batavia dan disebarkan ke daerah
Parahyangan. Inilah yang menyebabkan lahirnya sistem tanam paksa kopi di
Parahyangan.
B. Pelaksanaan, Proses Produksi Dan Pendistribusian Kopi
“Dalam pelaksanaanya kebun-kebun
kopi dibuat diatas tanah-tanah liar dengan mempergunakan pekerja-pekerja wajib” (Burger, 1962, hal. 101) namun dalam
kenyataannya tanaman kopi tidak hanya ditanam pada tanah-tanah liar saja, namun
akibat dari pemerintah Belanda yang barambisi ingin menambah hasil produksi
tanaman kopi, akhirnya penduduk yang memiliki lahan pun diwajibkan untuk
menyisihkan seperlima tanahnya untuk ditanami kopi. Dan bagi penduduk yang
tidak memiliki lahan diwajibkan untuk bekerja pada lahan kopi tersebut. Dalam
pelaksanaan tanam paksa kopi di parahyangan menurut Profesor Jan Breman, Guru
Besar Emiritus pada Universiteit Van Amsterdam, menyatakan ‘sistem tanam paksa
kopi di Parahyangan dipimpin oleh para bangsawan setempat yaitu para Menak dan
Sentana, yaitu adalah bangsawan Sunda yang lebih rendah.’ (Wibisono, 2010) Akibat dikerahkannya bangsawan lokal
tersebut beban petani sunda pun semakin berat, dikarenakan selain harus
menyerahkan hasil tanaman kopi pada pemerintah Belanda petani pun harus
menyerahkan hasil panen padi mereka pada bangsawan setempat. Itu merupakan
semacam gaji bagi para Menak dan Sentana. Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa
kopi ini banyak penyimpangan-penyimpangan diantaranya; tanah petani yang
dijadikan lahan penanaman kopi melebihi seperlima, tanah yang seharusnya
dijadikan lahan penanaman kopi bebas pajak namun tetap dikenakan pajak, para
pekerja yang seharusnya bekerja tidak melebihi masa tanam padi namun melibihi
sehingga sangat membebani petani, kegagalan panen yang seharusnya ditanggung
pemerintah namun ditanggung oleh rakyat, kelebihan hasil pertanian yang
seharusnya diperuntukan untuk rakyat namun diambil oleh pemerintah dsb.
Ditambah pula pada waktu petani Sunda hanya boleh berada di dua tempat yaitu
desanya atau kebun kopi. Hukuman yang berlaku pun sangat keras bagi pekerja
yang malas akan mendapat hukuman cambuk rotan atau pengasingan ke daerah lain.
Dan disini penduduk semakin terjepit mereka hanya dijadikan budak dan ditindas
oleh pemerintah Belanda.
Dalam proses pendistribusiannya kopi
dari hasil tanam paksa yang dilakukan di Parahyangan dari berbagai sumber yang
saya dapatkan yaitu mula-mula hasil panen dikumpulkan oleh para petani, lalu
dibawan kepara para bangsawan setempat atau para Menak dan Sentana, lalu dari
para bangsawan tersebut di berikan pada pemerintah kolonial untuk dikumpulkan
di gudang dan selanjutnya di bawa ke Batavia untuk di kirim ke Amsterdam yaitu
disana ada semacan perusahaan yang mengurus lelang produk-produk tanam paksa
seperti kopi dan nila dan lalu kopi dijual ke benua Amerika atau kenegara lain
di Eropa.
(Proses Pendistribusian Hasil Tanam Paksa Kopi Di Parahyangan) |
C.
Faktor-Foktor Yang
Mengakibatkan Sistem Tanam Paksa Kopi Berakhir
Menurut pendapat Profesor Jan
Breman dalam bukunya menyatakan ‘tanam paksa kopi dihapus akibat perlawanan
dari para petani Sunda, dan inilah faktor yang mengakibatkan tanam paksa kopi
di cabut dan bukan pertimbangan-pertimbangan lain yang dilakukan oleh penguasa
kolonial.’ (Wibisono, 2010). Dikarenakan banyaknya
penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa kopi di
Parahyangan seperti yang telah di jelaskan dalam bagian kedua banyak hak-hak
petani yang yang dibatasi oleh pemerintah kolonial dan timbulnya bencana
kelaparan akibat berkurangnya lahan penanaman untuk padi yang digantikan dengan
tanaman kopi, timbulnya harga-harga yang melambung, lalu timbulnya bencana
kemeskinan dan diperparah oleh wabah penyakit serta kematian yang timbul akibat
kekerasan dalam tanam paksa menyebabkan terjadinya perlawan dari para petani
Sunda, dan dari sini para petani Sunda mulai mulai melakukan perlawanan-perlawan
serta membenci dan menolak menanam kopi. Dan akhirnya pada tahun 1850 budi daya
kopi dari Parahyangan tidak lagi bisa memenuhi permintaan pasar dunia.
Dan terlepas dari
faktor-faktor diatas terdapat pula kritik-kritik dari berbagai golongan
diantaranya datang dari kaum liberalis yang menyatakan bahwa tanam paksa tidak
sesuai dengan ekonomi liberal atau eksploitasi berlebih terhadap Inlander (pribumi),
lalu dari jurnalis Belanda E.S.W. Roodra Van Eisingan kerap menyuarakan pembebasan bagi rakyat Nusantara, lalu
dari Baron Van Hoevel Ia reing melancarkan
kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa, lalu dari Eduard
Douwes Dekker mengarang buku Max
Havelaar 1860. Dalam bukunya Ia mengenakan nama samaran Maltatuli, dalam
bukunya menceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tanam
paksa dan tekanan pemerintah kolonial. Dan terakhir adalah tulisan C. Th Van
Deventer dalam bukunya Een Eereschuld,
yang membeberkan kemiskinan di tanah
jajahan belanda. Akibat dari kritik-kritik tersebut akhirnya pemerintah Belanda
secara berangsur-angsur mulai menghapuskan tanam paksa kopi dan akhirnya pada
1870 sistem tanam kopi di Parahyangan dihentikan oleh pemerintah kolonial
Belanda.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sistem tanam paksa kopi di
Parahyangan sebenarnya sudah ada sejak abad ke 18 dikarenakan kopi menjadi
perimadona dunia pada waktu itu dan harganya sangat mahal. Terlepas dari faktor
itu dikarenakan pula defisit keuangan yang dialami pemerintah kolonial Belanda
yang menimbulkan gubernur jendral baru untuk menerapkan sistem tanam paksa di
Indonesia untuk menutupi defisit tersebut. Dalam pelaksanaannya banyak terjadi
penyimpangan sehingga merugikan para petani, dan akhirnya banyak para petani
yang melakukan perlawan dan akibat dari perlawanan para petani dan banyak
timbul kritik dari kaum liberal serta kaum humanis akhirnya pada 1870 sistem
tanam paksa kopi di Parahyangan di hentikan oleh pemerintah kolonial Belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Burger,
D. H. (1962). Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Djakarta: Negara
Pradnjaparamita.
Marwati Djoened dan Nugroho
Notosusanto. (1984). Sejarah Nasional Indonesia
IV. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Wibisono, J.
(Composer). (2010). Het Preanger Stelsel Van Gedwongen Koffieteelt Op Java.
[J. Breman, Performer, & RNW, Conductor] Amsterdam, Amsterdam, Belanda.
Historia, H.
(2011, Januari 21). Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) 1830–1870.
Retrieved Maret 05, 2012, from Histeria Historia:
http://erakas.blogspot.com/2011/01/sistem-tanam-paksa-18301870.html
e-dukasi.net.
(n.d.). Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Kolonial. Retrieved
Januari 05,
2012, from e-dukasi.net:
http://e-dukasi.net/index.php?mod=script&cmd=Bahan%20Belajar/Materi%20Pokok/view&id=272&uniq=2582
LAMPIRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar