Krisis
Timor Leste Sampai Kudeta Bersenjata
Mayor Alfredo Reinado
(Sebuah Catatan Sejarah Konflik Bersaudara di Negeri Timor Lorosa'e)
Mayor Alfredo Reinado
(Sebuah Catatan Sejarah Konflik Bersaudara di Negeri Timor Lorosa'e)
oleh;
Dede Yusuf
1.1
Latar Belakang Krisis Timor Leste
Dapat
dikatakan, bahwa semenjak bangsa-bangsa yang mendiami pulau Timor mulai dijajah
oleh bangsa-bangsa dari Eropa, maka Timor Leste sering menjadi ajang konflik,
baik konflik antara bangsa Timor Leste melawan bangsa Asing maupun antar sesama
bangsa Timor Leste sendiri. Konflik antar bangsa Timor Leste dengan kuantitas
yang cukup besar pernah terjadi pada tahun 1975 bertepatan dengan
berlangsungnya pergantian kekuasaan di Portugal setelah meletusnya revolusi
bunga pada bulan April 1974. Pada akhirnya, pergolakan politik yang terjadi di
Portugal, secara tidak langsung mempengaruhi kondisi politik di Timor Portugis
(sebutan Timor Leste). Beberapa elit politik Timor Portugis merespon perubahan
politik ini dengan mendirikan organisasi sosial politik, diataranya adalah UDT,
KOTA, ASDT, APODETI, dan Partido Trabalista. Konflik antar elit politik yang
melibatkan massa rakyat berpuncak dengan dibentuknya FRETILIN, yang selanjutnya
pada tanggal 28 Nopember 1975 memproklamirkan berdirinya negara Timor Leste.
Konflik internal semakin tak terkendali dengan adanya
campur tangan dari pemerintah Indonesia. Selanjutnya, Indonesia pun menyatakan
Timor Leste menjadi bagian dari negara Indonesia. Berawal dari konflik politik
internal serta ditambah dengan selama pendudukan Indonesia, korban yang terjadi
akibat konflik, diperkirakan mencapai lebih dari 600.000 orang.[1] Jumlah ini di luar akibat konflik
internal selama dilangsungkannya referendum tahun 1999.
Pada waktu Administrasi UNTAET, banyak institusi
Negara modern dibentuk. Ini termasuk Parlemen Nasional, Dewan Menteri, struktur-struktur
pemerintahan lokal, dinas kepolisian dan angkatan pertahanan. Berfungsinya
dinas kepolisian, PNTL, saat ini, dan angkatan pertahanan, F-FDTL pada
khususnya, terhalangi perasaan kurang adanya legitimasi karena cara
pembentukannya. PNTL dibentuk dengan sejumlah orang Timor Leste yang sebelumnya
bekerja dengan dinas kepolisian Indonesia. Pada tahun 2000, tentara FALINTIL
dari berbagai distrik dikumpulkan bersama di Aileu (kantonisasi). Masa waktu
hidup bersama yang dipaksa ini menyebabkan persaingan-persaingan politik yang
dulu muncul. Kerapuhan dalam rasa kebersamaan dan disiplin sangat kelihatan.
Pada akhir tahun 2000, UNTAET tunduk pada tekanan dari Xanana Gusmao, dan
setuju bahwa proses pemilihan calon-calon untuk angkatan pertahanan yang baru
akan tetap merupakan masalah internal FALINTIL. Ini berarti bahwa pihak
kepemimpinan FRETILIN tidak diperbolehkan ikut serta dalam proses
ini. Pada tanggal 1 Februari 2001, FALINTIL dibubarkan dan FDTL dibentuk.[2]
Antara bulan Oktober 2001 dan bulan Mei, sebuah
administrasi transisi dibentuk. Semua partai mengambil bagian dalam pemerintah,
dengan Mari Al-katiri sebagai Kepala Menteri. Konstitusi RDTL dirancang oleh
Majelis Konstituante yang didominasi oleh Partai FRETILIN. Beberapa bagian
dalam UUD dipersoalkan oleh partai-partai oposisi. Dipilihnya 28 Nopember
sebagai hari kemerdekaan nasional merupakan penghormatan terhadap pernyataan
kemerdekaan secara sepihak oleh FRETILIN. Bendera dan lagu kebangsaan FRETILIN,
“Patria-Patria”, dipilih sebagai bendera nasional dan lagu kebangsaan. F-FDTL
yang baru dibentuk, diberikan nama FALINTIL-FDTL (F-FDTL) dalam suatu upaya
untuk mengaitkan angkatan pertahanan yang baru dengan sejarah FRETILIN dan
mengatasi persoalan penarikan FALINTIL oleh Xanana Gusmao pada tahun 1987.[3]
F-FDTL mengalami pukulan dari masyarakat umum secara
luas, terutama dari organisasi-organisasi veteran yang mulai terbentuk pada
tahun 2001. Rogerio Lobato menyampaikan himbauan-himbauan yang bersifat
populis, mempertanyakan legitimasi F-FDTL dengan mengambil nama FALINTIL.
Kelompok-kelompok veteran, termasuk Colimau 2000 dan Sagrada Familia, menjadi
titik fokal untuk retorika anti-FDTL. Menyusul pemilihan umum pada tahun 2001, kelompok-kelompok
tersebut mulai meminta pembentukan kembali angkatan pertahanan setelah
restorasi kemerdekaan pada tanggal 20 Mei 2002. Rogerio dipertimbangkan untuk
mengambil, tetapi pada akhirnya tidak diberikan, jabatan sebagai Sekretaris
Negara urusan Pertahanan setelah Taur Matan Ruak mengancam untuk meninggalkan
angkatan pertahanan. Menjelang tanggal 20 Mei 2002, Lobato dan para
pendukungnya mengadakan pawai-pawai veteran di Dili. Setelah perolehan
kemerdekaan, Rogerio Lobato diangkat sebagai Menteri Administrasi Dalam Negeri.[4]
Peranan dan pemisahan antara PNTL
dan F-FDTL di dalam masyarakat Timor Leste juga menjadi sebuah masalah
perdebatan sejak tahun 2002. Pada awal tahun 2003, F-FDTL diminta untuk
memulihkan ketertiban menyusul serangan dari mantan milisi. Rogerio Lobato,
yang pada waktu itu sudah menjadi Menteri Dalam Negeri, didukung oleh Perdana
Menteri Alkatiri dan Dewan Menteri, meminta PBB untuk membentuk unit-unit
kepolisian paramiliter. Pembentukan Unit Cadangan Kepolisian (URP) dan Unit
Penjagaan Perbatasan (UPF) sesudah itu, yang mempunyai tanggungjawab atas
patroli perbatasan, penanganan serangan-serangan milisi perbatasan dan kontra
pemberontakan di daerah pedalaman tidak diterima dengan baik oleh F-FDTL atau
partai-partai oposisi. Menteri Dalam Negeri menyatakan niatnya untuk memperluas
URP menjadi batalyon yang lengkap dan memulai proses perekrutan di mana
sebagian besar petugas yang direkrut untuk unit tersebut berasal dari
distrik-distrik wilayah barat. Pemerintah tidak dapat memperoleh senjata untuk
URP dan UPF ketika PBB masih memegang kekuasaan eksekutif. Pada tanggal 20 Mei
2004, mandat tersebut berakhir. Pada tanggal 21 Mei 2004, pemerintah menerima
pengiriman 180 senapan penyerangan semi otomatis HK33 dari Malaysia, yang
diberikan kepada URP. Pada bulan September 2004, pemerintah membeli 200 senapan
penyerangan semi otomatis untuk URP. 46 senapan penyerangan semi otomatis FNC
juga dibeli untuk Unit Gerak Cepat (UIR). 7 senjata api otomatis F2000 juga
dibeli, katanya untuk kegunaan perlindungan dekat.
1.2 Kudeta
Bersenjata Mayor
Alfredo Reinado
Sementara itu, konflik yang terjadi di bulan April 2006 merupakan konflik
yang berawal dari permasalahan yang muncul di dalam tubuh institusi militer Falintil-Forca
Defeza de Timor-Leste (F-FDTL). Sebab-sebab munculnya permasalahan dipicu
dugaan adanya praktek diskriminasi yang dilakukan oleh Pejabat Tinggi Militer
terhadap para anggotanya.[5] Akibatnya, pada tanggal 8 Januari 2006, sekitar
594 personil militer
F-FDTL melakukan aksi mogok dan keluar dari barak, memprotes diskriminasi promosi berdasarkan etnis Lorosa’e.
Dalam hal ini, tentara dari wilayah Loromonu merasa dianaktirikan.
Sebagai bentuk tanggapan atas mogok tersebut, maka
Pimpinan F-FDTL dengan persetujuan dari pihak Pemerintah melakukan pemecatan
terhadap sekitar 594 tentara Petisioneriu pada tanggal 17
Maret 2006. Sebagai kelanjutan atas pemecatan ini adalah semakin tumbuhnya rasa
kekecewaan di kalangan kelompok militer Petisioneriu.
Pada tanggal 24-28 April 2006, para Petisioner
melancarkan aksi protes secara terbuka terhadap pemerintah dengan melakukan
aksi demonstrasi ke Palacio Governu, yang kemudian berakhir terjadi aksi
kerusuhan dengan dibakarnya beberapa mobil dan dirusaknya beberapa fasilitas Palacio
Governu oleh massa demonstran pada tanggal 28 April 2006 pada sekitar jam
11.30 Oras Timor Leste. Pada hari tersebut, kekerasan hanya meletus
tidak lebih dari 4 tempat, yakni di sekitar Palacio Governu, mercado Comoro,
bundaran Comoro dan kawasan Tasi Tolu.
Di kawasan Tasi Tolu sendiri, kekerasan mulai meletus
hampir bersamaan dengan kekerasan yang terjadi di Palacio Governu. Peristiwa
ini ditandai dengan adanya aksi saling tembak antara anggota aktif F-FDTL
dengan kelompok Petisioner yang dibantu oleh warga sekitar yang mengakibatkan
setidaknya 2 orang meninggal, beberapa luka, hancurnya puluhan rumah milik
etnik Lorosa’e dan mengungsinya ratusan penduduk ke pinggiran kota Dili seperti
Dare, Tibar dan ada juga yang ke jantung kota. Aksi tembak-menembak ini tidak
terlepas dari keberadaan para Petisioner yang bermarkas di gedung karantina
pengungsian 1999 serta serta markas F-FDTL yang hanya berjarak sekitar 1 km
dari tempat Petisioner.
Selanjutnya, tanggal 28 April 2006 menjadi awal
dimulainya konflik bersaudara berbau etnik meletus dan berkembang dengan
terlibatnya anggota masyarakat sipil dari kedua etnis antar bangsa Timor Leste.
Bukan hanya itu, institusi keamanan lain seperti Policia Nacional de Timor-Leste
(PNTL) juga terkena imbasnya. Dan makin memuncak dengan keluarnya komandan
Polisi Militer (PM) Mayor Reinaldo Alfredo dan puluhan anak buahnya
dari Markas Besar F-FDTL di Cai Coli serta sejumlah anggota PNTL yang lengkap dengan
senjata pada awal Mei 2006.
Pada tanggal 10 Mei 2006, Pemerintahan Mari
Al-katiri menawarkan bantuan kemanusiaan dan subsidi sebagai sebuah solusi atas
permasalahan yang ada bagi para tentara desertir yang yang dipecat dengan
tujuan meredam suasana agar tidak semakin memburuk. Namun, tawaran tersebut
ditolak. Seiring dengan itu, konflik antar warga pun semakin tidak terkendali.
Kerusuhan terjadi hampir merata di area ibukota Dili. Dan korban nyawa serta
harta benda pun terus berjatuhan.
Memasuki akhir minggu ketiga bulan Mei, kelompok
militer pimpinan Mayor Alfredo Reinaldo melakukan serangan terhadap sejumlah
pejabat dan anggota militer F-FDTL di kawasan Fatu-Ahi. Kontak senjata ini, seakan-akan
mempertegas adanya nuansa interesta politika yang melatarbelakangi
konflik.
Melihat semakin tidak terkendalinya situasi keamanan
nasional (perpecahan di tubuh F-FDTL dan PNTL, serta terpolarisasinya kelompok
masyarakat), khususnya ibukota Dili, maka pada tanggal 24 Mei 2006, pemerintah
membuat sebuah keputusan politik yang intinya meminta bantuan militer
dari negara-negara tetangga seperti Australia, Portugal
(CPLP), Selandia Baru dan Malaysia.
Sehari kemudian, yakni pada tanggal 25 Mei 2006,
kontingen militer berjumlah 150 personel komando Australia tiba di Dili. Pada
hari yang sama, rumah kerabat Menteri
Dalam Negeri Regerio Lobato dibakar oleh sekelompok massa yang
mengakibatkan meninggalnya seorang ibu dan lima orang
anaknya dengan kondisi tubuh yang hangus terbakar.
Masih pada tanggal 25 Mei 2006, sebagai aksi balasan
atas peristiwa penyerangan di Fatu-Ai, tentara resmi pemerintah (F-FDTL aktif)
melakukan penembakan terhadap markas kepolisian hingga
menewaskan 11 anggota polisi saat keluar dari gedung dengan
pengawalan mobil
polisi Persatuan
Bangsa-Bangsa.
Selanjutnya, pada tanggal 29 Mei 2006, Presiden Xanana
Gusmao melakukan perundingan dengan Perdana Menteri Mari Alkatiri beserta anggota
kabinetnya di istana
kepresidenan. Sementara itu, di luar istana, ratusan demonstran meneriakkan yel-yel
anti terhadap pemerintahan Mari Alkatiri. Sementara itu, di tempat lain
terpisah, sebuah gudang logistik pemerintah berisi pangan dijarah oleh massa.
Dalam perundingan tersebut, mulailah bermunculan desakan dari berbagai pihak
termasuk dari Menteri Luar Negeri Jose Ramos
Horta agar Mari Alkatiri mengundurkan diri dari jabatan perdana
menterinya. Alasannya adalah karena dinilai gagal total dalam mengendalikan
situsi keamanan nasional, khususnya ibukota Dili.
Sebagai follow up hasil pertemuan darurat
tersebut adalah Presiden Xanana Gusmao
mengumumkan keadaan darurat dan mengambil alih kekuasaan dengan dipecatnya
Menteri Dalam Negeri Rogerio Lobato dan Menteri Pertahanan Roque Rodrigus
sehingga menimbulkan perselisihan dengan Alkatiri. Namun, Mari Alkatiri
bertekad untuk mempertahankan kedudukannya, sambil mengatakan bahwa hanya
pemilihan umum sajalah yang baru akan diadakan pada 2007 yang dapat menyingkirkannya.
Pada tanggal 7 Juni 2006, Mayor Alfredo Reinaldo
menyatakan bersedia berunding untuk mengakhiri kerusuhan berdarah. Meski
demikian, dia secara tegas meminta agar solusi damai bagi Timor Leste adalah dengan
tidak dilibatkannya Mari Alkatiri. Hanya dengan persyaratan inilah,
perdamaian di Timor Leste akan tercapai.
Pada 21 Juni 2006 Presiden Xanana Gusmao memberikan dua pilihan kepada Mari
Alkatiri, yakni mengundurkan diri atau dipecat, atau jika kedua opsi tidak
diterima, maka Xanana mengancam akan mundur dari jabatan kepresidenannya.
Beberapa hari setelah pernyataan bernada “ancaman”
dari Presiden tersebut, pada tanggal 25 Juni
2006, Jose Ramos Horta
menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri serta
jabatan sementaranya sebagai Menteri Pertahanan. Ia menyatakan, "tidak
ingin dirinya terkait dengan pemerintahan saat (itu) maupun pemerintah apapun
yang terkait dengan Alkatiri."[6]
Sehari setelah pengunduran Ramos Horta, maka pada
tanggal 26 Juni 2006, Mari Alkatiri
mengumumkan pengunduran dirinya. Sebagai solusi atas kekosongan jabatan,
Fretilin mengusulkan nama Menteri Pertanian Estanislau da Silva dan Ramos Horta untuk
mengisi posisi perdana menteri. Selanjutnya, pada tanggal 8 Juli 2006 Presiden Xanana
Gusmao menunjuk Ramos Horta sebagai Perdana Menteri dan dilantik pada 10 Juli 2006.
Pelantikan Ramos Horta sendiri berada di bawah
pengawalan ketat para prajurit komando Australia yang memimpin pasukan penjaga
perdamaian yang jumlahnya hampir mencapai 2 ribu personel. Horta sendiri bertekad
untuk mengakhiri kekerasan yang telah menyebabkan 150.000 orang mengungsi. "Kami
akan bekerja sangat keras," katanya menegaskan.[7]
Sementara itu, jabatan pemerintahan Ramos Horta hanya berlangsung hingga diselenggarakannya pemilihan umum 2007.
Pergantian kekuasaan sebagaimana yang dituntut para
elit politik ternyata tidak membawa perubahan pada meredanya konflik sosial.
Sebaliknya, konflik terus berlanjut. Berbagai insiden benturan fisik antar
kelompok di kota Dili semakin meningkat dengan isu baru, yakni arte
marciais. Isuatau Loromonu dengan Lorosa’e tidak lagi
terdengar, setidak-tidaknya hingga bulan Oktober 2006.
Sementara itu, terkait dengan isu arte marciais
dalam perjalanan sejarahnya sudah mulai muncul semenjak era Indonesia.
“Sesungguhnya, berbagai aliran perguruan beladiri, khususnya PSHT, mulai ada
dan berkembang di Timor Leste adalah karena di bawah oleh tentara-tentara
Indonesia.”[8] Semenjak itu pula, bibit-bibit permusuhan
antar kelompok arte marciais sudah mulai nampak walau dengan kadar yang
lebih rendah dibanding dengan pasca konflik April 2006. Bahkan, isu arte
marciaisini masih bertahan hingga sekarang ini. Dalam konteks konflik 2006,
isu arte marciais mulai terdengar sekitar bulan Agustus di area
Comoro.[9]
Sementara itu, terdapat opini lain yang berkembang
terkait dengan perubahan isu yang ada serta motif mendasar di balik konflik.
“Konflik ini adalah konflik dengan kategori politis. Motif di balik itu semua,
salah satunya adalah menyangkut faktor tanah. Sebagai ibukota negara, Dili, mau
tidak mau harus mengubah raut mukanya, yakni lebih cantik dan elok. Babi-babi
yang berkeliaran di jalanan, rumah-rumah kediaman yang bercampur dengan kandang
babi, dan semua bentuk ‘cacat sosial’ harus disingkirkan. Tata ruang kota harus
dilaksanakan. Dan tanah adalah salah satu aset yang menguntungkan dalam logika
produksi kapitalisme. Sementara waktu, keinginan tersebut tidak akan terpenuhi,
mengingat banyak manusia yang sudah tinggal di atasnya. Pemindahan secara
baik-baik tidaklah mungkin, karena akan memakan biaya yang besar: ganti rugi.
Satu-satunya jalan adalah dengan memindahkan mereka secara paksa, yakni melalui
konflik. Orang Lorosa’e sudah pergi dari rumahnya yang di Tasi tolu,
Comoro, Manleuana, Bairro Pite, Becora dan sebagainya. Tetapi sayangnya, orang Loromonu malah
membanjiri kota Dili. Tentu tidak bisa dibiarkan. Maka harus dipecah kembali. Arte
marciais adalah cara yang efektif. Sesama orang Loromonu, atau Loromonudengan
Lorosa’e, atau sesama orang Lorosa’e akan saling membunuh. Yang
kuat yang tersisa. Dan mereka yang akan dipelihara. Ini takkan pernah berhenti.
Isu hanya bungkus. Kepentingan di balik itu semua.”[10]
Sekitar bulan Januari 2007, kembali terjadi ketegangan
antar masyarakat dan juga antar masyarakat dengan pihak pemerintah terkait
dengan langkanya beras di pasaran. Jika pun ada, maka harganya sudah naik
menjadi 2 kali lipat. Sebagai respon atas kondisi ini, pemerintah Ramos Horta
mengeluarkan kebijakan dengan pembagian beras secara cuma-cuma pada masyarakat,
di mana setiap orang berhak mendapatkan 5 kg.[11]
Konflik
di Timor Leste mencapai titik kulminasi pada tanggal 11 Februari 2008 pagi
dengan terjadinya serangan bersenjata yang dilakukan Mayor Alfredo Reinado
terhadap Presiden Jose Ramos Horta dan PM Xanana Gusmao. dengan memanfaatkan
kelengahan baik pasukan keamanan Australia, polisi dan pasukan keamanan
presiden,Alfredo melakukan serangan bersenjata dan berhasil melukai serius
Presiden Ramos Horta di rumahnya, walau ahirnya Mayor Alfredo juga tewas.
Keberhasilan serangannya menjadi sejarah hitam atas konflik panjang yang
terjadi di Timor Leste. [12]
Dengan kondisi tersebut, isu arte marciais kembali
menghilang. Isu baru pun mengemuka, yakni terkait dengan pelakanaan Pemilu
Presiden bulan April 2008. Konflik bernuansa kekerasan kembali muncul seiring
dengan diadakannya kampanye antar kandidat, bahkan sempat terjadi bentrokan dan
memakan korban nyawa.
Isu berbau politik masih terus mengemuka hingga
diselenggarakannya Pemilu Parlemen pada bulan Juni 2008 dan berpuncak pada
tanggal 6 Agustus 2008 bertepatan dengan diumumkannya nama Perdana Menteri yang
baru oleh Presiden Jose Ramos Horta. Sebagai bentuk kekecewaannya, selanjutnya
para simpatisan Fretilin melakukan aksi protes dengan cara membakar roda mobil
dan membakar gedung Departemen Bea dan Cukai Nasional di Col-Mera. Tak lama
kemudian, sebuah aksi kekerasan juga meletus di area Metinaro, serta di
beberapa distrik seperti di Baucau, Ermera, Lautem dan Viqueque.
DAFTAR PUSTAKA
[1] John G. Taylor. Perang Tersembunyi:
Sejarah Timor Timur yang Terlupakan. Diterjemahkan oleh Putri. 1998.
Penerbit: Fortilos, Jakarta. Lihat juga, CAVR: Disseminating CHEGA.
Januari 2007
[6] Australian Associated Press (2006). Timor's
foreign minister resigns. Diakses pada 22 Juli 2013. Pukul:
15.03.56 Oras Timor Leste.
[7] Diperoleh dari: http//.www.wikipedia.org/wiki/negara_negara/konflik/timor
timur. Diakses pada tanggal 22 Juli 2013.
[9] Clarão Post, Edisi
perdana/no.01/thn.I/Oktober/2006. “Banjir Darah Di Bumi Timor”. hal.3. Sebuah
tabloit mingguan internal yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan
Propaganda Partido Socialista de Timor.
[12] Diperoleh dari: http://suar.okezone.com/read/2008/02/16/58/84046/pelajaran-konflik-timor-leste. Diakses
pada tanggal 22 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar