Rabu, 21 Agustus 2013

Krisis Timor Leste Sampai Kudeta Bersenjata Mayor Alfredo Reinado

Krisis Timor Leste Sampai Kudeta Bersenjata
Mayor Alfredo Reinado
(Sebuah Catatan Sejarah Konflik Bersaudara di Negeri Timor Lorosa'e)
oleh;
Dede Yusuf

1.1 Latar Belakang Krisis Timor Leste
Dapat dikatakan, bahwa semenjak bangsa-bangsa yang mendiami pulau Timor mulai dijajah oleh bangsa-bangsa dari Eropa, maka Timor Leste sering menjadi ajang konflik, baik konflik antara bangsa Timor Leste melawan bangsa Asing maupun antar sesama bangsa Timor Leste sendiri. Konflik antar bangsa Timor Leste dengan kuantitas yang cukup besar pernah terjadi pada tahun 1975 bertepatan dengan berlangsungnya pergantian kekuasaan di Portugal setelah meletusnya revolusi bunga pada bulan April 1974. Pada akhirnya, pergolakan politik yang terjadi di Portugal, secara tidak langsung mempengaruhi kondisi politik di Timor Portugis (sebutan Timor Leste). Beberapa elit politik Timor Portugis merespon perubahan politik ini dengan mendirikan organisasi sosial politik, diataranya adalah UDT, KOTA, ASDT, APODETI, dan Partido Trabalista. Konflik antar elit politik yang melibatkan massa rakyat berpuncak dengan dibentuknya FRETILIN, yang selanjutnya pada tanggal 28 Nopember 1975 memproklamirkan berdirinya negara Timor Leste.
Konflik internal semakin tak terkendali dengan adanya campur tangan dari pemerintah Indonesia. Selanjutnya, Indonesia pun menyatakan Timor Leste menjadi bagian dari negara Indonesia. Berawal dari konflik politik internal serta ditambah dengan selama pendudukan Indonesia, korban yang terjadi akibat konflik, diperkirakan mencapai lebih dari 600.000 orang.[1] Jumlah ini di luar akibat konflik internal selama dilangsungkannya referendum tahun 1999.
Pada waktu Administrasi UNTAET, banyak institusi Negara modern dibentuk. Ini termasuk Parlemen Nasional, Dewan Menteri, struktur-struktur pemerintahan lokal, dinas kepolisian dan angkatan pertahanan. Berfungsinya dinas kepolisian, PNTL, saat ini, dan angkatan pertahanan, F-FDTL pada khususnya, terhalangi perasaan kurang adanya legitimasi karena cara pembentukannya. PNTL dibentuk dengan sejumlah orang Timor Leste yang sebelumnya bekerja dengan dinas kepolisian Indonesia. Pada tahun 2000, tentara FALINTIL dari berbagai distrik dikumpulkan bersama di Aileu (kantonisasi). Masa waktu hidup bersama yang dipaksa ini menyebabkan persaingan-persaingan politik yang dulu muncul. Kerapuhan dalam rasa kebersamaan dan disiplin sangat kelihatan. Pada akhir tahun 2000, UNTAET tunduk pada tekanan dari Xanana Gusmao, dan setuju bahwa proses pemilihan calon-calon untuk angkatan pertahanan yang baru akan tetap merupakan masalah internal FALINTIL. Ini berarti bahwa pihak kepemimpinan FRETILIN  tidak diperbolehkan ikut serta dalam proses ini. Pada tanggal 1 Februari 2001, FALINTIL dibubarkan dan FDTL dibentuk.[2]
Antara bulan Oktober 2001 dan bulan Mei, sebuah administrasi transisi dibentuk. Semua partai mengambil bagian dalam pemerintah, dengan Mari Al-katiri sebagai Kepala Menteri. Konstitusi RDTL dirancang oleh Majelis Konstituante yang didominasi oleh Partai FRETILIN. Beberapa bagian dalam UUD dipersoalkan oleh partai-partai oposisi. Dipilihnya 28 Nopember sebagai hari kemerdekaan nasional merupakan penghormatan terhadap pernyataan kemerdekaan secara sepihak oleh FRETILIN. Bendera dan lagu kebangsaan FRETILIN, “Patria-Patria”, dipilih sebagai bendera nasional dan lagu kebangsaan. F-FDTL yang baru dibentuk, diberikan nama FALINTIL-FDTL (F-FDTL) dalam suatu upaya untuk mengaitkan angkatan pertahanan yang baru dengan sejarah FRETILIN dan mengatasi persoalan penarikan FALINTIL oleh Xanana Gusmao pada tahun 1987.[3] 
F-FDTL mengalami pukulan dari masyarakat umum secara luas, terutama dari organisasi-organisasi veteran yang mulai terbentuk pada tahun 2001. Rogerio Lobato menyampaikan himbauan-himbauan yang bersifat populis, mempertanyakan legitimasi F-FDTL dengan mengambil nama FALINTIL. Kelompok-kelompok veteran, termasuk Colimau 2000 dan Sagrada Familia, menjadi titik fokal untuk retorika anti-FDTL. Menyusul pemilihan umum pada tahun 2001, kelompok-kelompok tersebut mulai meminta pembentukan kembali angkatan pertahanan setelah restorasi kemerdekaan pada tanggal 20 Mei 2002. Rogerio dipertimbangkan untuk mengambil, tetapi pada akhirnya tidak diberikan, jabatan sebagai Sekretaris Negara urusan Pertahanan setelah Taur Matan Ruak mengancam untuk meninggalkan angkatan pertahanan. Menjelang tanggal 20 Mei 2002, Lobato dan para pendukungnya mengadakan pawai-pawai veteran di Dili. Setelah perolehan kemerdekaan, Rogerio Lobato diangkat sebagai Menteri Administrasi Dalam Negeri.[4]
Peranan dan pemisahan antara PNTL dan F-FDTL di dalam masyarakat Timor Leste juga menjadi sebuah masalah perdebatan sejak tahun 2002. Pada awal tahun 2003, F-FDTL diminta untuk memulihkan ketertiban menyusul serangan dari mantan milisi. Rogerio Lobato, yang pada waktu itu sudah menjadi Menteri Dalam Negeri, didukung oleh Perdana Menteri Alkatiri dan Dewan Menteri, meminta PBB untuk membentuk unit-unit kepolisian paramiliter. Pembentukan Unit Cadangan Kepolisian (URP) dan Unit Penjagaan Perbatasan (UPF) sesudah itu, yang mempunyai tanggungjawab atas patroli perbatasan, penanganan serangan-serangan milisi perbatasan dan kontra pemberontakan di daerah pedalaman tidak diterima dengan baik oleh F-FDTL atau partai-partai oposisi. Menteri Dalam Negeri menyatakan niatnya untuk memperluas URP menjadi batalyon yang lengkap dan memulai proses perekrutan di mana sebagian besar petugas yang direkrut untuk unit tersebut berasal dari distrik-distrik wilayah barat. Pemerintah tidak dapat memperoleh senjata untuk URP dan UPF ketika PBB masih memegang kekuasaan eksekutif. Pada tanggal 20 Mei 2004, mandat tersebut berakhir. Pada tanggal 21 Mei 2004, pemerintah menerima pengiriman 180 senapan penyerangan semi otomatis HK33 dari Malaysia, yang diberikan kepada URP. Pada bulan September 2004, pemerintah membeli 200 senapan penyerangan semi otomatis untuk URP. 46 senapan penyerangan semi otomatis FNC juga dibeli untuk Unit Gerak Cepat (UIR). 7 senjata api otomatis F2000 juga dibeli, katanya untuk kegunaan perlindungan dekat.
1.2 Kudeta Bersenjata Mayor Alfredo Reinado
Sementara itu, konflik yang terjadi di bulan April 2006 merupakan konflik yang berawal dari permasalahan yang muncul di dalam tubuh institusi militer Falintil-Forca Defeza de Timor-Leste (F-FDTL). Sebab-sebab munculnya permasalahan dipicu dugaan adanya praktek diskriminasi yang dilakukan oleh Pejabat Tinggi Militer terhadap para anggotanya.[5] Akibatnya, pada tanggal 8 Januari 2006, sekitar 594 personil militer F-FDTL melakukan aksi mogok dan keluar dari barak, memprotes diskriminasi promosi berdasarkan etnis Lorosa’e. Dalam hal ini, tentara dari wilayah Loromonu merasa dianaktirikan.
Sebagai bentuk tanggapan atas mogok tersebut, maka Pimpinan F-FDTL dengan persetujuan dari pihak Pemerintah melakukan pemecatan terhadap sekitar  594 tentara Petisioneriu pada tanggal 17 Maret 2006. Sebagai kelanjutan atas pemecatan ini adalah semakin tumbuhnya rasa kekecewaan di kalangan kelompok militer Petisioneriu.
Pada tanggal 24-28 April 2006, para Petisioner melancarkan aksi protes secara terbuka terhadap pemerintah dengan melakukan aksi demonstrasi ke Palacio Governu, yang kemudian berakhir terjadi aksi kerusuhan dengan dibakarnya beberapa mobil dan dirusaknya beberapa fasilitas Palacio Governu oleh massa demonstran pada tanggal 28 April 2006 pada sekitar jam 11.30 Oras Timor Leste. Pada hari tersebut, kekerasan hanya meletus tidak lebih dari 4 tempat, yakni di sekitar Palacio Governu, mercado Comoro, bundaran Comoro dan kawasan Tasi Tolu.
Di kawasan Tasi Tolu sendiri, kekerasan mulai meletus hampir bersamaan dengan kekerasan yang terjadi di Palacio Governu. Peristiwa ini ditandai dengan adanya aksi saling tembak antara anggota aktif F-FDTL dengan kelompok Petisioner yang dibantu oleh warga sekitar yang mengakibatkan setidaknya 2 orang meninggal, beberapa luka, hancurnya puluhan rumah milik etnik Lorosa’e dan mengungsinya ratusan penduduk ke pinggiran kota Dili seperti Dare, Tibar dan ada juga yang ke jantung kota. Aksi tembak-menembak ini tidak terlepas dari keberadaan para Petisioner yang bermarkas di gedung karantina pengungsian 1999 serta serta markas F-FDTL yang hanya berjarak sekitar 1 km dari tempat Petisioner.
Selanjutnya, tanggal 28 April 2006 menjadi awal dimulainya konflik bersaudara berbau etnik meletus dan berkembang dengan terlibatnya anggota masyarakat sipil dari kedua etnis antar bangsa Timor Leste. Bukan hanya itu, institusi keamanan lain seperti Policia Nacional de Timor-Leste (PNTL) juga terkena imbasnya. Dan makin memuncak dengan keluarnya komandan Polisi Militer (PM) Mayor Reinaldo Alfredo dan  puluhan anak buahnya dari Markas Besar F-FDTL di Cai Coli serta sejumlah anggota PNTL yang lengkap dengan senjata pada awal Mei 2006.
Pada tanggal 10 Mei 2006,  Pemerintahan Mari Al-katiri menawarkan bantuan kemanusiaan dan subsidi sebagai sebuah solusi atas permasalahan yang ada bagi para tentara desertir yang yang dipecat dengan tujuan meredam suasana agar tidak semakin memburuk. Namun, tawaran tersebut ditolak. Seiring dengan itu, konflik antar warga pun semakin tidak terkendali. Kerusuhan terjadi hampir merata di area ibukota Dili. Dan korban nyawa serta harta benda pun terus berjatuhan.
Memasuki akhir minggu ketiga bulan Mei, kelompok militer pimpinan Mayor Alfredo Reinaldo melakukan serangan terhadap sejumlah pejabat dan anggota militer F-FDTL di kawasan Fatu-Ahi. Kontak senjata ini, seakan-akan mempertegas adanya  nuansa interesta politika yang melatarbelakangi konflik.
Melihat semakin tidak terkendalinya situasi keamanan nasional (perpecahan di tubuh F-FDTL dan PNTL, serta terpolarisasinya kelompok masyarakat), khususnya ibukota Dili, maka pada tanggal 24 Mei 2006, pemerintah membuat sebuah keputusan politik yang intinya meminta bantuan militer dari negara-negara tetangga seperti Australia, Portugal (CPLP), Selandia Baru dan Malaysia.
Sehari kemudian, yakni pada tanggal 25 Mei 2006, kontingen militer berjumlah 150 personel komando Australia tiba di Dili. Pada hari yang sama, rumah kerabat Menteri Dalam Negeri Regerio Lobato dibakar oleh sekelompok massa yang mengakibatkan meninggalnya seorang ibu dan lima orang anaknya dengan kondisi tubuh yang hangus terbakar.
Masih pada tanggal 25 Mei 2006, sebagai aksi balasan atas peristiwa penyerangan di Fatu-Ai, tentara resmi pemerintah (F-FDTL aktif) melakukan penembakan terhadap markas kepolisian hingga menewaskan 11 anggota polisi saat keluar dari gedung dengan pengawalan mobil polisi Persatuan Bangsa-Bangsa.
Selanjutnya, pada tanggal 29 Mei 2006, Presiden Xanana Gusmao melakukan perundingan dengan Perdana Menteri Mari Alkatiri beserta anggota kabinetnya di istana kepresidenan. Sementara itu, di luar istana, ratusan demonstran meneriakkan yel-yel anti terhadap pemerintahan Mari Alkatiri. Sementara itu, di tempat lain terpisah, sebuah gudang logistik pemerintah berisi pangan dijarah oleh massa. Dalam perundingan tersebut, mulailah bermunculan desakan dari berbagai pihak termasuk dari Menteri Luar Negeri Jose Ramos Horta agar Mari Alkatiri mengundurkan diri dari jabatan perdana menterinya. Alasannya adalah karena dinilai gagal total dalam mengendalikan situsi keamanan nasional, khususnya ibukota Dili.
Sebagai follow up hasil pertemuan darurat tersebut adalah Presiden Xanana Gusmao mengumumkan keadaan darurat dan mengambil alih kekuasaan dengan dipecatnya Menteri Dalam Negeri Rogerio Lobato dan Menteri Pertahanan Roque Rodrigus sehingga menimbulkan perselisihan dengan Alkatiri. Namun, Mari Alkatiri bertekad untuk mempertahankan kedudukannya, sambil mengatakan bahwa hanya pemilihan umum sajalah yang baru akan diadakan pada 2007 yang dapat menyingkirkannya.
Pada tanggal 7 Juni 2006, Mayor Alfredo Reinaldo menyatakan bersedia berunding untuk mengakhiri kerusuhan berdarah. Meski demikian, dia secara tegas meminta agar solusi damai bagi Timor Leste adalah dengan tidak dilibatkannya Mari Alkatiri. Hanya dengan persyaratan inilah, perdamaian di Timor Leste akan tercapai.
Pada 21 Juni 2006 Presiden Xanana Gusmao memberikan dua pilihan kepada Mari Alkatiri, yakni mengundurkan diri atau dipecat, atau jika kedua opsi tidak diterima, maka Xanana mengancam akan mundur dari jabatan kepresidenannya.
Beberapa hari setelah pernyataan bernada “ancaman” dari Presiden tersebut, pada tanggal 25 Juni 2006, Jose Ramos Horta menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri serta jabatan sementaranya sebagai Menteri Pertahanan. Ia menyatakan, "tidak ingin dirinya terkait dengan pemerintahan saat (itu) maupun pemerintah apapun yang terkait dengan Alkatiri."[6]
Sehari setelah pengunduran Ramos Horta, maka pada tanggal 26 Juni 2006, Mari Alkatiri mengumumkan pengunduran dirinya. Sebagai solusi atas kekosongan jabatan, Fretilin mengusulkan nama Menteri Pertanian Estanislau da Silva dan Ramos Horta untuk mengisi posisi perdana menteri. Selanjutnya, pada tanggal  8 Juli 2006 Presiden Xanana Gusmao menunjuk Ramos Horta sebagai Perdana Menteri dan dilantik pada 10 Juli 2006.
Pelantikan Ramos Horta sendiri berada di bawah pengawalan ketat para prajurit komando Australia yang memimpin pasukan penjaga perdamaian yang jumlahnya hampir mencapai 2 ribu personel. Horta sendiri bertekad untuk mengakhiri kekerasan yang telah menyebabkan 150.000 orang mengungsi. "Kami akan bekerja sangat keras," katanya menegaskan.[7] Sementara itu, jabatan pemerintahan Ramos Horta hanya berlangsung hingga diselenggarakannya pemilihan umum 2007.
Pergantian kekuasaan sebagaimana yang dituntut para elit politik ternyata tidak membawa perubahan pada meredanya konflik sosial. Sebaliknya, konflik terus berlanjut. Berbagai insiden benturan fisik antar kelompok di kota Dili semakin meningkat dengan isu baru, yakni arte marciais. Isuatau Loromonu dengan Lorosa’e tidak lagi terdengar, setidak-tidaknya hingga bulan Oktober 2006.
Sementara itu, terkait dengan isu arte marciais dalam perjalanan sejarahnya sudah mulai muncul semenjak era Indonesia. “Sesungguhnya, berbagai aliran perguruan beladiri, khususnya PSHT, mulai ada dan berkembang di Timor Leste adalah karena di bawah oleh tentara-tentara Indonesia.”[8] Semenjak itu pula, bibit-bibit permusuhan antar kelompok arte marciais sudah mulai nampak walau dengan kadar yang lebih rendah dibanding dengan pasca  konflik April 2006. Bahkan, isu arte marciaisini masih bertahan hingga sekarang ini. Dalam konteks konflik 2006, isu arte marciais mulai terdengar sekitar bulan Agustus di area Comoro.[9]
Sementara itu, terdapat opini lain yang berkembang terkait dengan perubahan isu yang ada serta motif mendasar di balik konflik. “Konflik ini adalah konflik dengan kategori politis. Motif di balik itu semua, salah satunya adalah menyangkut faktor tanah. Sebagai ibukota negara, Dili, mau tidak mau harus mengubah raut mukanya, yakni lebih cantik dan elok. Babi-babi yang berkeliaran di jalanan, rumah-rumah kediaman yang bercampur dengan kandang babi, dan semua bentuk ‘cacat sosial’ harus disingkirkan. Tata ruang kota harus dilaksanakan. Dan tanah adalah salah satu aset yang menguntungkan dalam logika produksi kapitalisme. Sementara waktu, keinginan tersebut tidak akan terpenuhi, mengingat banyak manusia yang sudah tinggal di atasnya. Pemindahan secara baik-baik tidaklah mungkin, karena akan memakan biaya yang besar: ganti rugi. Satu-satunya jalan adalah dengan memindahkan mereka secara paksa, yakni melalui konflik. Orang Lorosa’e sudah pergi dari rumahnya yang di Tasi tolu, Comoro, Manleuana, Bairro Pite, Becora dan sebagainya. Tetapi sayangnya, orang Loromonu malah membanjiri kota Dili. Tentu tidak bisa dibiarkan. Maka harus dipecah kembali. Arte marciais adalah cara yang efektif. Sesama orang Loromonu, atau Loromonudengan Lorosa’e, atau sesama orang Lorosa’e akan saling membunuh. Yang kuat yang tersisa. Dan mereka yang akan dipelihara. Ini takkan pernah berhenti. Isu hanya bungkus. Kepentingan di balik itu semua.”[10]
Sekitar bulan Januari 2007, kembali terjadi ketegangan antar masyarakat dan juga antar masyarakat dengan pihak pemerintah terkait dengan langkanya beras di pasaran. Jika pun ada, maka harganya sudah naik menjadi 2 kali lipat. Sebagai respon atas kondisi ini, pemerintah Ramos Horta mengeluarkan kebijakan dengan pembagian beras secara cuma-cuma pada masyarakat, di mana setiap orang berhak mendapatkan 5 kg.[11]
Konflik di Timor Leste mencapai titik kulminasi pada tanggal 11 Februari 2008 pagi dengan terjadinya serangan bersenjata yang dilakukan Mayor Alfredo Reinado terhadap Presiden Jose Ramos Horta dan PM Xanana Gusmao. dengan memanfaatkan kelengahan baik pasukan keamanan Australia, polisi dan pasukan keamanan presiden,Alfredo melakukan serangan bersenjata dan berhasil melukai serius Presiden Ramos Horta di rumahnya, walau ahirnya Mayor Alfredo juga tewas. Keberhasilan serangannya menjadi sejarah hitam atas konflik panjang yang terjadi di Timor Leste. [12]
Dengan kondisi tersebut, isu arte marciais kembali menghilang. Isu baru pun mengemuka, yakni terkait dengan pelakanaan Pemilu Presiden bulan April 2008. Konflik bernuansa kekerasan kembali muncul seiring dengan diadakannya kampanye antar kandidat, bahkan sempat terjadi bentrokan dan memakan korban nyawa.
Isu berbau politik masih terus mengemuka hingga diselenggarakannya Pemilu Parlemen pada bulan Juni 2008 dan berpuncak pada tanggal 6 Agustus 2008 bertepatan dengan diumumkannya nama Perdana Menteri yang baru oleh Presiden Jose Ramos Horta. Sebagai bentuk kekecewaannya, selanjutnya para simpatisan Fretilin melakukan aksi protes dengan cara membakar roda mobil dan membakar gedung Departemen Bea dan Cukai Nasional di Col-Mera. Tak lama kemudian, sebuah aksi kekerasan juga meletus di area Metinaro, serta di beberapa distrik seperti di Baucau, Ermera, Lautem dan Viqueque.

DAFTAR PUSTAKA
[1] John G. Taylor. Perang Tersembunyi: Sejarah Timor Timur yang Terlupakan. Diterjemahkan oleh Putri. 1998. Penerbit: Fortilos, Jakarta. Lihat juga, CAVR: Disseminating CHEGA. Januari 2007
[2] Laporan Komisi Penyelidik Khusus dan Independen untuk Timor-Leste, Genewa, 2 Oktober 2006
[3] Ibid,
[4] Ibid,
[5] Laporan Hasil Investigasi oleh Komisi Independen bulan Oktober 2006
[6] Australian Associated Press (2006). Timor's foreign minister resigns. Diakses pada 22 Juli 2013. Pukul: 15.03.56 Oras Timor Leste.
[7] Diperoleh dari: http//.www.wikipedia.org/wiki/negara_negara/konflik/timor timur. Diakses pada tanggal 22 Juli 2013.
[8] Ibid,
[9] Clarão Post, Edisi perdana/no.01/thn.I/Oktober/2006. “Banjir Darah Di Bumi Timor”. hal.3. Sebuah tabloit mingguan internal yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Propaganda Partido Socialista de Timor.
[10] Ibid, 3. Rubrik Sorotan Utama: Tanah di balik konflik.
[11] Suara Timor Lorosa’e. Pemerintah Bagi-bagi Beras. 23 Januari 2007. hal. 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar