PERAN ACEH DALAM PERANG KEMERDEKAAN RI
oleh;
Dede Yusuf
A. PERAN ACEH DALAM PERANG KEMERDEKAAN RI
Perjuangan Rakyat Aceh di Medan Area. Dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan di Aceh pasukan angkatan perang Aceh tidak hanya berjuang di Aceh
saja akan tetapi juga terus-menerus dikirim ke Medan atau pun ke tempat-tempat
lain di Sumatera Timur(sekarang:Sumatera Utara). Di sana pasukan Aceh
berjuang di Medan Area dan berbagai medan pertumpuran yang hendak dicaplok
musuh. Menghadapi tentara Belanda yang bersenjata mutakhir, panglima tentara RI
Mayor Jenderal R. Suharjo Harjowardoyo menumpahkan harapan besar kepada pasukan
Aceh.[1]
Dalam sebuah telegramnya, panglima meminta kepada
pemimpin rakyat Aceh supaya menyediakan terus kekuatan dari Aceh ke Medan.
Pengembalian kota Medan terletak di tangan saudara-saudara segenap penduduk
Aceh.
Akibat agresi pertama Belanda ini menyebabkan negara
republik Indonesia dihadapkan kepada suatu tantangan besar. Dalam situasi yang
krisis itu wakil Presiden Muhammad Hatta mengangkat Tgk. Muhammad Daud Breu-eh
menjadi gubernur militer untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo dengan
pangkat Jenderal Mayor. Akibat agresi Belanda pertama banyak pasukan dan rakyat
Sumatera Timur mengungsi ke Aceh yang masih aman dari tekanan pihak Belanda.[2]
Pada masa Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh menjadi
Gubernur Militer Daerah Aceh, Langakat dan Tanah Karo; terjadilah agresi
Belanda kedua. Pada hari pertama agresi tersebut tanggal 19 Desember 1948
Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta dapat di duduki oleh Belanda, Presiden
Soekarno dan Wakil Prsiden Muhammad Hatta beserta beberapa menteri dan beberapa
tokoh lainnya dapat ditawan oleh Belanda. Tanggal 19 Desember 1948
pemerintah memberikan kuasa kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara yang
ketika itu berada di Bukit Tinggi untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik
Indonesia yang lebih dikenal dengan PDRI, sedangkan di Jawa dibentuk Komisariat
Pemerintahan yang terdiri dari Mr. Sukiman. Mr. Susanto Tirtiprodjo.[3]
Dengan agresi Belanda yang kedua dapat dilakatakan,
bahwa hampir seluruh wilayah di Sumatera telah berada di bawah kekuasaan
Belanda. Satu-satunya daerah yang masih utuh belum dimasuki Belanda adalah
Daerah Aceh.
Untuk mengahadapi kekuatan Belanda di Sumatera
Timur(Sumatera Utara) dan didasarkan kepada pertimbangan, bahwa lebih baik
pasukan Aceh menyerang Belanda dari pada bertahan di Aceh, Laskar
berjumlah 60 orang yang diperbantukan pada batalion TRI Devisi juga dikirimkan
ke kesatuan laskar Aceh dari Devisi Tgk. Chik Di Tiro, Divisi Direncong, Devisi
Tgk. Chik Paya Bakong dan Tentara Pelajar. Oleh karena semakin hari semakin
banyak yang datang ke Medan Area, maka terpaksa dibentuk suatu badan koordinasi
yang disebut dengan RIMA (Resimen Istimewa Medan Area) yang terdiri dari 4
batalion yaitu batalion Wiji Alfisah, batalion Altileri Devisi Rencong, Devisi
Tgk. Chik Di Tiro, dan Devisi Tgk. Chik Paya Bakong.[4]
Tugas pertama dari pasukan tersebut adalah untuk
merebut kembali daerah yang diduduki Belanda. Namun hal ini kurang
berhasil karena kurang terkoordinirnya pasukan bersenjata Republik
Indonesia, bahkan sering terjadi pasukan komando itu tidak dapat menjalin
kerjasama, sehingga tidak dapat menggerakkan suatu serangan yang serentak
terhadap Belanda.
Walaupun tugas utamanya tidak berhasil, namun untuk
menghalau gerak maju pasukan Belanda ke Aceh cukup berhasil. Ini dapat dilihat
karena tidak ada satu daerah pun di Aceh dapat di duduki kembali oleh Belanda.[5]
B. SUMBANGAN RAKYAT ACEH
Daerah Aceh merupakan daerah yang tidak pernah
dikuasai oleh musuh dan merupakan modal utama Republik Indonesia dalam
perjuangan kemerdekaannya. Pernyataan ini didukung kenyataan, bahwa
satu-satunya daerah dalam wilayah Republik Indonesia pada waktu itu yang
tidak pernah diduduki oleh Belanda adalah daerah Aceh.[6] Hal
ini pulalah yang dijadikan modal utama utusan Indonesia dalam Konferensi Meja
Bundar (KBM) di Den Haag itu, bahwa Republik Indonesia masih memiliki wilayah
bebas penguasaan Belanda.
Selain itu ucapan Presiden diatas berhubungan dengan
berbagai sumbangan yang telah diberikan rakyat Aceh kepada perjuangan bangsa
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya, seperti sumbangan sebuah
pesawat. Mengenai antusias rakyat Aceh dalam membantu pembelian pesawat udara
ini di ceritakan oleh beberapa informan, bahwa rakyat begitu rela pintu rumah
mereka digedor di waktu malam hari untuk menyumbangi sebagian dari emas atau
barang lainnya demi untuk negara.
Pesawat yang dibeli dengan sumbangan rakyat Aceh ini
diberi nama “Seulawah” yaitu nama sebuah gunung yang terdapat di perbatasan
Aceh Besar dan Kabupaten Pidie, dan pesawat ini diberi nimor RI-001.
Bahwa uang yang disumbangkan rakyat Aceh untuk membeli
pesawat udara jenis Dakota tersebut cukup untuk dua pesawat. Namun sebuah
diantaranya masih merupakan teka-teki, karena menurut kenyataan yang ada hanya
sebuah pesawat (RI-001). Menurut A. Hasjmy, bahwa penyelewengan ini
dilakukan di Singapura, tetapi pelakunya belum diketahui. Namun sebuah sumber
lain menyebutkan bahwa pesawat yang satu lagi telah dihadiahkan kepada
pemerintah Birma, sebagai tanda terima kasih atas semua fasilitas yang
diberikan perwakilan Garuda beroperasi di Birma.[7]
Pada mulanya pesawat ini merupakan jajaran dalam
angkatan udara Republik Indonesia dan rute luar negeri, yaitu Birma dan
Calkutta. Sedangkan fungsinya didalam negeri selain dapat menjembatani pulau
Sumatera dan Jawa; juga untuk menerobos blokade Belanda menerbangkan
tokoh-tokoh politik bangsa Indonesia.
Kemudian pada tanggal 26 Januari 1949 RI-001 menjadi
pesawat komersil yang dicarter oleh Indonesia Airways, yang kemudian dikenal
dengan Garuda Indonesia Airways. Adapun menagernya yang pertama adalah Wiweko
Supeno.[8]
Selain telah menyumbang pesawat udara untuk
kepentingan perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya,
rakyat Aceh juga menyumbang kepada pemerintah Republik Indonesia berupa
senjata, makanan, pakaian dan lain-lain untuk membantu perjuangan menegakkan
dan mempertahankan kemerdekaan di Sumatera Timur. Pada tahun 1948 rakyat Aceh
telah mengirimkan ke daerah Medan Area sebanyak 72 ekor kerbau.[9]
C. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil isi paper diatas, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut: Aceh merupakan salah satu wilayah Republik yang
setia pada pemerintah Indonesia. Daerah Aceh merupakan Modal utama dalam
perjuangan kemerdekaann Republik Indonesia, karena tidak pernah dikuasai oleh
musuh dan masih utuh sepenuhnya. Aceh merupakan juga daerah yang selalu
menyumbang atau selalu memberi bantuan kepada Republik Indonesia; baik berupa
senjata, makanan, dan pakaian untuk membantu perjuangan dalam menegakkan
kemerdekaan.
D. DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Teuku Ibrahim. Revolusi Kemerdekaan di Aceh (1945-1949), Proyek permuseuman Daerah
Istimewa Aceh, Banda Aceh, 1982.
Zamzami,
Amran, Jihad Akbar di Medan Area. Jakarta : Bulan Bintang,
1990.
______. Peranan Rakyat Aceh Dalam Perang Kemerdekaan
(1945-1949). Jakarta: Beuna, 1990.
Sardjono. V. dan GL.
Marsadji, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)-Penyelamat Negara dan
Bangsa Indonesia. Jakarta
: Penerbit Tontamas, Sumatera, 1982
Ibrahim, Muhammad. Sejarah Daerah Propinsi Daerahi
Istimewa Aceh. Banda Aceh: Depdikbud., 1978
Abdullah Ali, Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh
Dalam Perang Kemerdekaan(1945-1945), Depdikbud., Banda Aceh ,1985.
Amin, S.M… Kenang-kenangan di Masa Lampau, Jakarta : Pradnya Paramita, 1978
Jakobi, A. K., Aceh Daerah Modal.
Jakarta : Yayasan Seulawah RI-001,1992.
––––––––––––––––––––––––––––––––
[1] Teuku Ibrahim Alfian, op. cit., p.86.
[2] Amran Zamzami, op cit., p. 297
[3] V. Sardjono dan GL. Marsadji, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)-Penyelamat Negara dan
Bangsa Indonesia (Jakarta : Penerbit Tontamas, Sumatera,
1982), p. Vi.
[4] Muhammad Ibrahim, Ibrahim,
Muhammad, (1978). Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa
Aceh, Depdikbud., Banda Aceh, 1978), p. 183
[5] Abdullah Ali, Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh Dalam Perang Kemedekaan(1945-1945)
(Banda Aceh : Depdikbud., 1985), p. 268
[6] S.M. Amin, op.cit., p. 102.
[7] A.K. Jakobi, op.cit., p. 249
[8] Amran Zamzami, op.cit., p. 278.
[9] Muhammad Ibrahim, op. cit., p. 278.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar