Latar Belakang Konferensi Meja Bundar
oleh;
Dede Yusuf
Indonesia telah diakui keberadaannya oleh dunia setelah menyatakan
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Akan tetapi, ternyata hal itu
bukanlah akhir dari perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kata “Daulat”.
Masa revolusi merupakan awal dari permasalahan bangsa Indonesia setelah
kemerdekaan. Gerakan pendaulatan di berbagai daerah yang disertai dengan
kekerasan dan pembunuhan terjadi pada masa permulaan revolusi. Belanda bersama
sekutunya kembali ke Indonesia dengan alasan ingin melucuti tentara Jepang yang
ditawan di Indonesia. Keinginan untuk menguasai kembali negara Indonesia masih
dimiliki oleh bangsa Belanda. Berbagai macam cara dilakukan oleh Belanda,
sehingga kembali bermunculan perlawanan dari rakyat Indonesia.
Kejadian yang dialami bangsa Indonesia ini kemudian menarik simpati wakil
Ukraina di PBB untuk meminta perhatian Dewan Keamanan terhadap keadaan
Indonesia, namun gugatan tersebut ditolak (Dekker, 1997:192). Negara Indonesia
ingin menunjukkan kepada dunia bahwa perselisihan hendaknya diselesaikan dengan
jalan damai. Bangsa Indonesia mengadakan perundingan-perundingam damai dengan
pihak Belanda. Akan tetapi, kesepakatan hasil perundingan-perundingan tersebut
dilanggar oleh Belanda, bahkan Belanda telah melancarkan Agresi Militer Belanda
I dan Agresi Militer Belanda II.
Kejadian tersebut kembali menarik simpati wakil-wakil di PBB untuk
menyelesaikan masalah ini. Atas dasar Roem-Roijen Statement disepakatilah
oleh kedua belah pihak untuk melaksanakan perundingan kembali melalui
Konferensi Meja Bundar (KMB) (Dekker, 1989:79). Sebelum KMB dilaksanakan,
pemimpin RI dan BFO terlebih dahulu mengadakan Konferensi Inter Indonesia
(KII). Kabinet baru dibentuk dan digunakan sebagai delegasi Indonesia pada KMB.
Konferensi ini diadakan di Den Haag, dipimpin oleh Perdana Menteri Kerajaan
Belanda W. Drees, dan berlangsung dari tanggal 23 Agustus sampai dengan 2
November 1949. Konferensi ini dihadiri oleh delegasi-delegasi Republik
Indonesia yaitu Moh. Hatta, delegasi BFO yaitu Sultan Hamid, delegasi kerajaan
Belanda yaitu J.H. van Maarseven, serta UNCI sebagai wakil Dewan Keamanan
PBB.
Persoalan KMB yang terberat adalah masalah Irian Barat yang sampai saat itu
masih menjadi wilayah kekuasaan Belanda. Belanda berusaha untuk memisahkan
daerah ini dari Indonesia. Mengenai masalah Irian Barat tersebut, terjadi
perdebatan diantara kedua belah pihak. Atas saran wakil Australia di dalam UNCI
disepakati bahwa dalam setahun setelah penyerahan kedaulatan, Irian Barat
dirundingkan lagi untuk pengembalian de facto kepada
Indonesia. Kekuasaan di Irian Barat secara mutlak belum didapatkan oleh
Belanda, Indonesia juga merasa kecewa karena belum sepenuhnya memiliki
kedaulatan yang riil bagi wilayahnya dari Sabang sampai Merauke.
Penyerahan kedaulatan diadakan pada tanggal 27 Desember 1949 di tiga tempat
yaitu di Amsterdam, di Jakarta, dan di Yogyakarta. Kedaulatan Indonesia kepada
RIS akan diserahkan secara resmi oleh Belanda, dan kini RIS telah berdaulat
secara riil atas Indonesia seluas Hindia Belanda dahulu.
Banyak hal yang dapat dipelajari dari makalah ini. Proses-proses sejarah
yang sedemikian rupa dapat dijadikan motifasi oleh generasi-generasi berikutnya
untuk lebih meningkatkan rasa nasionalismenya, dan tetap menjaga negara
tercinta agar kejadian yang dialami nenek moyangnya di masa lampau (penjajahan)
tidak terulang lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Dekker, N. 1989. Sejarah Revolusi Nasional.
Jakarta: Balai Pustaka.
Dekker, N. 1997. Sejarah Pergerakan dan Revolusi
Nasional. Malang: IKIP Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar