Rabu, 24 Juli 2013

Latar Belakang Konferensi Meja Bundar

Latar Belakang Konferensi Meja Bundar
oleh; 
Dede Yusuf


Indonesia telah diakui keberadaannya oleh dunia setelah menyatakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Akan tetapi, ternyata hal itu bukanlah akhir dari perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kata “Daulat”. Masa revolusi merupakan awal dari permasalahan bangsa Indonesia setelah kemerdekaan. Gerakan pendaulatan di berbagai daerah yang disertai dengan kekerasan dan pembunuhan terjadi pada masa permulaan revolusi. Belanda bersama sekutunya kembali ke Indonesia dengan alasan ingin melucuti tentara Jepang yang ditawan di Indonesia. Keinginan untuk menguasai kembali negara Indonesia masih dimiliki oleh bangsa Belanda. Berbagai macam cara dilakukan oleh Belanda, sehingga kembali bermunculan perlawanan dari rakyat Indonesia.
Kejadian yang dialami bangsa Indonesia ini kemudian menarik simpati wakil Ukraina di PBB untuk meminta perhatian Dewan Keamanan terhadap keadaan Indonesia, namun gugatan tersebut ditolak (Dekker, 1997:192). Negara Indonesia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa perselisihan hendaknya diselesaikan dengan jalan damai. Bangsa Indonesia mengadakan perundingan-perundingam damai dengan pihak Belanda. Akan tetapi, kesepakatan hasil perundingan-perundingan tersebut dilanggar oleh Belanda, bahkan Belanda telah melancarkan Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II.
Kejadian tersebut kembali menarik simpati wakil-wakil di PBB untuk menyelesaikan masalah ini. Atas dasar Roem-Roijen Statement disepakatilah oleh kedua belah pihak untuk melaksanakan perundingan kembali melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) (Dekker, 1989:79). Sebelum KMB dilaksanakan, pemimpin RI dan BFO terlebih dahulu mengadakan Konferensi Inter Indonesia (KII). Kabinet baru dibentuk dan digunakan sebagai delegasi Indonesia pada KMB. Konferensi ini diadakan di Den Haag, dipimpin oleh Perdana Menteri Kerajaan Belanda W. Drees, dan berlangsung dari tanggal 23 Agustus sampai dengan 2 November 1949. Konferensi ini dihadiri oleh delegasi-delegasi Republik Indonesia yaitu Moh. Hatta, delegasi BFO yaitu Sultan Hamid, delegasi kerajaan Belanda yaitu J.H. van Maarseven, serta UNCI  sebagai wakil Dewan Keamanan PBB.
Persoalan KMB yang terberat adalah masalah Irian Barat yang sampai saat itu masih menjadi wilayah kekuasaan Belanda. Belanda berusaha untuk memisahkan daerah ini dari Indonesia. Mengenai masalah Irian Barat tersebut, terjadi perdebatan diantara kedua belah pihak. Atas saran wakil Australia di dalam UNCI disepakati bahwa dalam setahun setelah penyerahan kedaulatan, Irian Barat dirundingkan lagi untuk pengembalian de facto kepada Indonesia. Kekuasaan di Irian Barat secara mutlak belum didapatkan oleh Belanda, Indonesia juga merasa kecewa karena belum sepenuhnya memiliki kedaulatan yang riil bagi wilayahnya dari Sabang sampai Merauke.
Penyerahan kedaulatan diadakan pada tanggal 27 Desember 1949 di tiga tempat yaitu di Amsterdam, di Jakarta, dan di Yogyakarta. Kedaulatan Indonesia kepada RIS akan diserahkan secara resmi oleh Belanda, dan kini RIS telah berdaulat secara riil atas Indonesia seluas Hindia Belanda dahulu.
Banyak hal yang dapat dipelajari dari makalah ini. Proses-proses sejarah yang sedemikian rupa dapat dijadikan motifasi oleh generasi-generasi berikutnya untuk lebih meningkatkan rasa nasionalismenya, dan tetap menjaga negara tercinta agar kejadian yang dialami nenek moyangnya di masa lampau (penjajahan) tidak terulang lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Dekker, N. 1989. Sejarah Revolusi Nasional. Jakarta: Balai Pustaka.
Dekker, N. 1997. Sejarah Pergerakan dan Revolusi Nasional. Malang: IKIP Malang.



  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar