Minggu, 09 Desember 2012

Kerajaan Mataram Islam

Kerajaan Mataram Islam
oleh;
Dede Yusuf

A. Kerajaan Mataram Islam
Nama kerajaan Mataram tentu sudah pernah Anda dengar sebelumnya dan ingatan Anda pasti tertuju pada kerajaan Mataram wangsa Sanjaya dan Syailendra pada zaman Hindu-Budha. Kerajaan Mataram yang akan dibahas dalam modul ini, tidak ada hubungannya dengan kerajaan Mataram zaman Hindu-Budha. Mungkin hanya kebetulan nama yang sama. Dan secara kebetulan keduanya berada pada lokasi yang tidak jauh berbeda yaitu Jawa Tengah Selatan. Pada awal perkembangannya kerajaan Mataram adalah daerah kadipaten yang dikuasai oleh Ki Gede Pamanahan. Daerah tersebut diberikan oleh Pangeran Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yaitu raja Pajang kepada Ki Gede Pamanahan atas jasanya membantu mengatasi perang saudara di Demak yang menjadi latar belakang munculnya kerajaan Pajang. Ki Gede Pamanahan memiliki putra bernama Sutawijaya yang juga mengabdi kepada raja Pajang sebagai komando pasukan pengawal raja. Setelah Ki Gede Pamanahan meninggal tahun 1575, maka Sutawijaya menggantikannya sebagai adipati di Kota Gede tersebut. Setelah pemerintahan Hadiwijaya di Pajang berakhir, maka kembali terjadi perang saudara antara Pangeran Benowo putra Hadiwijaya dengan Arya Pangiri, Bupati Demak yang merupakan keturunan dari Raden Trenggono. Akibat dari perang saudara tersebut, maka banyak daerah yang dikuasai Pajang melepaskan diri, sehingga hal inilah yang mendorong Pangeran Benowo meminta bantuan kepada Sutawijaya. Atas bantuan Sutawijaya tersebut, maka perang saudara dapat diatasi dan karena ketidakmampuannya maka secara sukarela Pangeran Benowo menyerahkan takhtanya kepada Sutawijaya. Dengan demikian berakhirlah kerajaan Pajang dan sebagai kelanjutannya muncullah kerajaan Mataram. Lokasi kerajaan Mataram tersebut di Jawa Tengah bagian Selatan dengan pusatnya di kota Gede yaitu di sekitar kota Yogyakarta sekarang. Dari penjelasan tersebut, apakah Anda sudah memahami? Kalau sudah paham, untuk mengetahui lebih lanjut tentang perkembangan kerajaan Mataram, maka simaklah uraian materi berikut ini.
1. Kehidupan Politik
Pendiri kerajaan Mataram adalah Sutawijaya. Ia bergelar Panembahan Senopati, memerintah tahun (1586 – 1601). Pada awal pemerintahannya ia berusaha menundukkan daerah-daerah seperti Ponorogo, Madiun, Pasuruan, dan Cirebon serta Galuh. Sebelum usahanya untuk memperluas dan memperkuat kerajaan Mataram, Sutawijaya digantikan oleh putranya yaitu Mas Jolang yang bergelar Sultan Anyakrawati tahun 1601 – 1613. Sebagai raja Mataram ia juga berusaha meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Panembahan Senopati untuk memperoleh kekuasaan Mataram dengan menundukkan daerah-daerah yang melepaskan diri dari Mataram. Akan tetapi sebelum usahanya selesai, Mas Jolang meninggal tahun 1613 dan dikenal dengan sebutan Panembahan Sedo Krapyak. Untuk selanjutnya yang menjadi raja Mataram adalah Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senopati ing alogo Ngabdurrahman, yang memerintah tahun 1613 – 1645. Sultan Agung merupakan raja terbesar. Pada masa pemerintahannya Mataram mencapai puncaknya, karena ia seorang raja yang gagah berani, cakap dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya, kota kerajaan Mataram mula-mula di Kerta, kemudian dipindahkan ke Plered. Sebagai raja Mataram ia bercita-cita mempersatukan seluruh pulau Jawa di bawah kekuasaan Mataram. Pada tahun 1625 hampir seluruh pulau Jawa dikuasainya kecuali Batavia dan Banten. Untuk menambah pemahaman Anda tentang kekuasaan Mataram pada masa Sultan Agung maka simaklah gambar  berikut ini.
Gambar; Daerah Kekuasaan Mataram.
Setelah Anda menyimak gambar 2.7 tersebut, yang perlu Anda ketahui bahwa daerahdaerah tersebut dipersatukan oleh Mataram antara lain melalui ikatan perkawinan antara adipati-adipati dengan putri putri Mataram, bahkan Sultan Agung sendiri menikah dengan putri Cirebon sehingga daerah Cirebon juga mengakui kekuasaan Mataram.
Di samping mempersatukan berbagai daerah di pulau Jawa, Sultan Agung juga berusaha mengusir VOC Belanda dari Batavia. Untuk itu Sultan Agung melakukan penyerangan terhadap VOC ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629 akan tetapi serangan tersebut mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan serangan terhadap VOC antara lain karena jarak tempuh dari pusat Mataram ke Batavia terlalu jauh kira-kira membutuhkan waktu 1 bulan untuk berjalan kaki, sehingga bantuan tentara sulit diharapkan dalam waktu singkat. Dan daerah-daerah yang dipersiapkan untuk mendukung pasukan sebagai lumbung padi yaitu Kerawang dan Bekasi dibakar oleh VOC, sebagai akibatnya pasukan Mataram kekurangan bahan makanan. Dampak pembakaran lumbung padi maka tersebar wabah penyakit yang menjangkiti pasukan Mataram, sedangkan pengobatan belum sempurna. Hal inilah yang banyak menimbulkan korban dari pasukan Mataram. Di samping itu juga sistem persenjataan
Belanda lebih unggul dibanding pasukan Mataram. Walaupun penyerangan terhadap Batavia mengalami kegagalan, namun Sultan Agung tetap berusaha memperkuat penjagaan terhadap daerah-daerah yang berbatasan dengan Batavia, sehingga pada masa pemerintahannya VOC sulit menembus masuk ke pusat pemerintahan Mataram. Setelah wafatnya Sultan Agung tahun 1645, Mataram tidak memiliki raja-raja yang cakap dan berani seperti Sultan Agung, bahkan putranya sendiri yaitu Amangkurat I dan cucunya Amangkurat II merupakan raja-raja yang lemah. Kelemahan raja-raja Mataram setelah Sultan Agung dimanfaatkan oleh penguasa daerah untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram juga VOC. Akhirnya VOC berhasil juga menembus ke ibukota dengan cara mengadu-domba sehingga kerajaan Mataram berhasil dikendalikan VOC. Bukti berhasilnya VOC dengan politik devide et impera, kerajaan Mataram terbelah dua melalui perjanjian Gianti tahun 1755. Sehingga Mataram yang luas hampir meliputi seluruh pulau Jawa akhirnya terpecah belah menjadi 2 wilayah kerajaan yaitu:
  • Kesultanan Yogyakarta, dengan Mangkubumi sebagai raja yang bergelar SultaHamengkubuwono I.
  • Kasunanan Surakarta yang diperintah oleh Sunan Paku Buwono III.
Belanda ternyata belum puas memecah belah kerajaan Mataram. Akhirnya melalui politik adu-domba kembali tahun 1757 diadakan perjanjian Salatiga. Mataram terbagi 4 wilayah yaitu sebagian Surakarta diberikan kepada Mangkunegaran selaku Adipati tahun 1757, kemudian sebagian Yogyakarta juga diberikan kepada Paku Alam selaku Adipati tahun 1813.
2. Kehidupan Ekonomi
Letak kerajaan Mataram di pedalaman, maka Mataram berkembang sebagai kerajaan agraris yang menekankan dan mengandalkan bidang pertanian. Sekalipun demikian kegiatan perdagangan tetap diusahakan dan dipertahankan, karena Mataram juga menguasai daerah-daerah pesisir yang mata pencahariannya pelayaran dan perdagangan. Dalam bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah persawahan yang luas terutama di Jawa Tengah, yang daerahnya juga subur dengan hasil utamanya adalah beras, di samping kayu, gula, kapas, kelapa dan palawija. Sedangkan dalam bidang perdagangan, beras merupakan komoditi utama, bahkan menjadi barang ekspor karena pada abad 17 Mataram menjadi pengekspor beras paling besar pada saat itu. Dengan demikian kehidupan ekonomi Mataram berkembang pesat karena didukung oleh hasil bumi Mataram yang besar. Dari penjelasan tersebut, apakah Anda sudah memahami? Kalau sudah paham, bandingkan dengan uraian materi selanjutnya.
3. Kehidupan Sosial Budaya
Sebagai kerajaan yang bersifat agraris, maka masyarakat Mataram disusun berdasarkan sistem feodalisme. Dengan sistem tersebut maka raja adalah pemilik tanah kerajaan beserta isinya. Untuk melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh seperangkat pegawai dan keluarga istana, yang mendapatkan upah atau gaji berupa tanah lungguh atau tanah garapan. Tanah lungguh tersebut dikelola oleh kepala desa (bekel) dan yang menggarapnya atau mengerjakannya adalah rakyat atau petani penggarap dengan membayar pajak/sewa tanah. Dengan adanya sistem feodalisme tersebut, menyebabkan lahirnya tuan-tuan tanah di Jawa yang sangat berkuasa terhadap tanah-tanah yang dikuasainya. Sultan memiliki kedudukan yang tinggi juga dikenal sebagai panatagama yaitu pengatur kehidupan keagamaan. Sedangkan dalam bidang kebudayaan, seni ukir, lukis, hias dan patung serta seni sastra berkembang pesat. Hal ini terlihat dari kreasi para seniman dalam pembuatan gapura, ukiran-ukiran di istana maupun tempat ibadah. Contohnya gapura Candi Bentar di makam Sunan Tembayat (Klaten) diperkirakan dibuat pada masa Sultan Agung.
Untuk menambah pemahaman Anda tentang bentuk gapura Candi Bentar tersebut, silahkan Anda simak gambar berikut ini.
Gambar; Candi Bentar di makam
Sunan Tembayat.
(Sumber: Sejarah kebudayaan Indonesia 3,
Dr. Sukarno, Kanisius, Yogyakarta)
Setelah Anda menyimak gambar tersebut apa tanggapan Anda tentang gambar tersebut? Apakah ingatan Anda tertuju pada Candi Bentar peninggalan Majapahit? Kalau ya, berarti Anda benar, karena pada masa Sultan Agung banyak unsur-unsur budaya Hindu-Budha yang dipadukan dengan unsur budaya Islam.
Contoh lain hasil perpaduan budaya Hindu-Budha-Islam adalah penggunaan kalender Jawa, adanya kitab filsafat sastra gending dan kitab undang-undang yang disebut Surya Alam.
Contoh-contoh tersebut merupakan hasil karya dari Sultan Agung sendiri.Di samping itu juga adanya upacara Grebeg pada hari-hari besar Islam yang ditandai berupa kenduri Gunungan yang dibuat dari berbagai makanan maupun hasil bumi. Upacara Grebeg tersebut merupakan tradisi sejak zaman Majapahit sebagai tanda terhadap pemujaan nenek moyang. Untuk menambah pemahaman Anda tentang Kenduri Gunungan, silahkan Anda simak gambar berikut ini.
Gambar; Kenduri Gunungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar