Kerajaan Mataram Islam
oleh;
Dede Yusuf
oleh;
Dede Yusuf
A. Kerajaan Mataram Islam
Nama
kerajaan Mataram tentu sudah pernah Anda dengar sebelumnya dan ingatan Anda pasti
tertuju pada kerajaan Mataram wangsa Sanjaya dan Syailendra pada zaman
Hindu-Budha. Kerajaan Mataram yang akan dibahas dalam modul ini, tidak ada
hubungannya dengan kerajaan Mataram zaman Hindu-Budha. Mungkin hanya kebetulan
nama yang sama. Dan secara kebetulan keduanya berada pada lokasi yang tidak
jauh berbeda yaitu Jawa Tengah Selatan. Pada awal perkembangannya kerajaan
Mataram adalah daerah kadipaten yang dikuasai oleh Ki Gede Pamanahan. Daerah
tersebut diberikan oleh Pangeran Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yaitu raja Pajang kepada
Ki Gede Pamanahan atas jasanya membantu mengatasi perang saudara di Demak yang menjadi
latar belakang munculnya kerajaan Pajang. Ki Gede Pamanahan memiliki putra
bernama Sutawijaya yang juga mengabdi kepada raja Pajang sebagai komando
pasukan pengawal raja. Setelah Ki Gede Pamanahan meninggal tahun 1575, maka Sutawijaya
menggantikannya sebagai adipati di Kota Gede tersebut. Setelah pemerintahan
Hadiwijaya di Pajang berakhir, maka kembali terjadi perang saudara antara
Pangeran Benowo putra Hadiwijaya dengan Arya Pangiri, Bupati Demak yang merupakan
keturunan dari Raden Trenggono. Akibat dari perang saudara tersebut, maka banyak
daerah yang dikuasai Pajang melepaskan diri, sehingga hal inilah yang mendorong
Pangeran Benowo meminta bantuan kepada Sutawijaya. Atas bantuan Sutawijaya
tersebut, maka perang saudara dapat diatasi dan karena ketidakmampuannya maka
secara sukarela Pangeran Benowo menyerahkan takhtanya kepada Sutawijaya. Dengan
demikian berakhirlah kerajaan Pajang dan sebagai kelanjutannya muncullah
kerajaan Mataram. Lokasi kerajaan Mataram tersebut di Jawa Tengah bagian
Selatan dengan pusatnya di kota Gede yaitu di sekitar kota Yogyakarta sekarang.
Dari penjelasan tersebut, apakah Anda sudah memahami? Kalau sudah paham, untuk
mengetahui lebih lanjut tentang perkembangan kerajaan Mataram, maka simaklah
uraian materi berikut ini.
1. Kehidupan
Politik
Pendiri
kerajaan Mataram adalah Sutawijaya. Ia bergelar Panembahan
Senopati, memerintah tahun (1586 – 1601). Pada awal pemerintahannya ia
berusaha menundukkan daerah-daerah seperti Ponorogo, Madiun, Pasuruan, dan
Cirebon serta Galuh. Sebelum usahanya untuk memperluas dan memperkuat kerajaan
Mataram, Sutawijaya digantikan oleh putranya yaitu Mas Jolang yang
bergelar Sultan Anyakrawati tahun 1601 – 1613. Sebagai raja
Mataram ia juga berusaha meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Panembahan
Senopati untuk memperoleh kekuasaan Mataram dengan menundukkan daerah-daerah
yang melepaskan diri dari Mataram. Akan tetapi sebelum usahanya selesai, Mas
Jolang meninggal tahun 1613 dan dikenal dengan sebutan Panembahan
Sedo Krapyak. Untuk selanjutnya yang menjadi raja Mataram adalah Mas
Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senopati ing alogo
Ngabdurrahman, yang memerintah tahun 1613 – 1645. Sultan Agung
merupakan raja terbesar. Pada masa pemerintahannya Mataram mencapai puncaknya,
karena ia seorang raja yang gagah berani, cakap dan bijaksana. Pada masa
pemerintahannya, kota kerajaan Mataram mula-mula di Kerta,
kemudian dipindahkan ke Plered. Sebagai raja Mataram ia bercita-cita
mempersatukan seluruh pulau Jawa di bawah kekuasaan Mataram. Pada tahun 1625 hampir
seluruh pulau Jawa dikuasainya kecuali Batavia dan Banten. Untuk menambah
pemahaman Anda tentang kekuasaan Mataram pada masa Sultan Agung maka simaklah
gambar berikut ini.
Gambar; Daerah Kekuasaan Mataram.
Setelah
Anda menyimak gambar 2.7 tersebut, yang perlu Anda ketahui bahwa daerahdaerah
tersebut dipersatukan oleh Mataram antara lain melalui ikatan perkawinan antara
adipati-adipati dengan putri putri Mataram, bahkan Sultan Agung sendiri menikah
dengan putri Cirebon sehingga daerah Cirebon juga mengakui kekuasaan Mataram.
Di
samping mempersatukan berbagai daerah di pulau Jawa, Sultan Agung juga berusaha
mengusir VOC Belanda dari Batavia. Untuk itu Sultan Agung melakukan penyerangan
terhadap VOC ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629 akan tetapi serangan tersebut
mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan serangan terhadap VOC antara lain
karena jarak tempuh dari pusat Mataram ke Batavia terlalu jauh kira-kira
membutuhkan waktu 1 bulan untuk berjalan kaki, sehingga bantuan tentara sulit diharapkan
dalam waktu singkat. Dan daerah-daerah yang dipersiapkan untuk mendukung
pasukan sebagai lumbung padi yaitu Kerawang dan Bekasi dibakar oleh VOC,
sebagai akibatnya pasukan Mataram kekurangan bahan makanan. Dampak pembakaran lumbung
padi maka tersebar wabah penyakit yang menjangkiti pasukan Mataram, sedangkan
pengobatan belum sempurna. Hal inilah yang banyak menimbulkan korban dari pasukan
Mataram. Di samping itu juga sistem persenjataan
Belanda
lebih unggul dibanding pasukan Mataram. Walaupun penyerangan terhadap Batavia mengalami
kegagalan, namun Sultan Agung tetap berusaha memperkuat penjagaan terhadap
daerah-daerah yang berbatasan dengan Batavia, sehingga pada masa
pemerintahannya VOC sulit menembus masuk ke pusat pemerintahan Mataram. Setelah
wafatnya Sultan Agung tahun 1645, Mataram tidak memiliki raja-raja yang cakap dan
berani seperti Sultan Agung, bahkan putranya sendiri yaitu Amangkurat I dan
cucunya Amangkurat II merupakan raja-raja yang lemah. Kelemahan raja-raja
Mataram setelah Sultan Agung dimanfaatkan oleh penguasa daerah untuk melepaskan
diri dari kekuasaan Mataram juga VOC. Akhirnya VOC berhasil juga menembus ke
ibukota dengan cara mengadu-domba sehingga kerajaan Mataram berhasil
dikendalikan VOC. Bukti berhasilnya VOC dengan politik devide et impera,
kerajaan Mataram terbelah dua melalui perjanjian Gianti tahun 1755. Sehingga
Mataram yang luas hampir meliputi seluruh pulau Jawa akhirnya terpecah belah
menjadi 2 wilayah kerajaan yaitu:
- Kesultanan Yogyakarta, dengan Mangkubumi sebagai raja yang bergelar SultaHamengkubuwono I.
- Kasunanan Surakarta yang diperintah oleh Sunan Paku Buwono III.
Belanda
ternyata belum puas memecah belah kerajaan Mataram. Akhirnya melalui politik
adu-domba kembali tahun 1757 diadakan perjanjian Salatiga. Mataram terbagi 4
wilayah yaitu sebagian Surakarta diberikan kepada Mangkunegaran selaku Adipati
tahun 1757, kemudian sebagian Yogyakarta juga diberikan kepada Paku Alam selaku
Adipati tahun 1813.
2. Kehidupan
Ekonomi
Letak
kerajaan Mataram di pedalaman, maka Mataram berkembang sebagai kerajaan agraris
yang menekankan dan mengandalkan bidang pertanian. Sekalipun demikian kegiatan
perdagangan tetap diusahakan dan dipertahankan, karena Mataram juga menguasai
daerah-daerah pesisir yang mata pencahariannya pelayaran dan perdagangan. Dalam
bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah persawahan yang luas terutama di
Jawa Tengah, yang daerahnya juga subur dengan hasil utamanya adalah beras, di
samping kayu, gula, kapas, kelapa dan palawija. Sedangkan dalam bidang
perdagangan, beras merupakan komoditi utama, bahkan menjadi barang ekspor
karena pada abad 17 Mataram menjadi pengekspor beras paling besar pada saat
itu. Dengan demikian kehidupan ekonomi Mataram berkembang pesat karena didukung
oleh hasil bumi Mataram yang besar. Dari penjelasan tersebut, apakah Anda sudah
memahami? Kalau sudah paham, bandingkan dengan uraian materi selanjutnya.
3. Kehidupan
Sosial Budaya
Sebagai
kerajaan yang bersifat agraris, maka masyarakat Mataram disusun berdasarkan
sistem feodalisme. Dengan sistem tersebut maka raja adalah pemilik tanah
kerajaan beserta isinya. Untuk melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh
seperangkat pegawai dan keluarga istana, yang mendapatkan upah atau gaji berupa
tanah lungguh atau tanah garapan. Tanah lungguh tersebut dikelola oleh kepala
desa (bekel) dan yang menggarapnya atau mengerjakannya adalah rakyat atau petani
penggarap dengan membayar pajak/sewa tanah. Dengan adanya sistem feodalisme
tersebut, menyebabkan lahirnya tuan-tuan tanah di Jawa yang sangat berkuasa
terhadap tanah-tanah yang dikuasainya. Sultan memiliki kedudukan yang tinggi
juga dikenal sebagai panatagama yaitu pengatur kehidupan keagamaan. Sedangkan
dalam bidang kebudayaan, seni ukir, lukis, hias dan patung serta seni sastra berkembang
pesat. Hal ini terlihat dari kreasi para seniman dalam pembuatan gapura, ukiran-ukiran
di istana maupun tempat ibadah. Contohnya gapura Candi Bentar di makam Sunan Tembayat
(Klaten) diperkirakan dibuat pada masa Sultan Agung.
Untuk
menambah pemahaman Anda tentang bentuk gapura Candi Bentar tersebut, silahkan
Anda simak gambar berikut ini.
Gambar; Candi Bentar di makam
Sunan Tembayat.
(Sumber: Sejarah kebudayaan Indonesia 3,
Dr. Sukarno, Kanisius, Yogyakarta)
Setelah
Anda menyimak gambar tersebut apa tanggapan Anda tentang gambar tersebut?
Apakah ingatan Anda tertuju pada Candi Bentar peninggalan Majapahit? Kalau ya,
berarti Anda benar, karena pada masa Sultan Agung banyak unsur-unsur budaya Hindu-Budha
yang dipadukan dengan unsur budaya Islam.
Contoh
lain hasil perpaduan budaya Hindu-Budha-Islam adalah penggunaan kalender Jawa,
adanya kitab filsafat sastra gending dan kitab undang-undang yang disebut Surya
Alam.
Contoh-contoh
tersebut merupakan hasil karya dari Sultan Agung sendiri.Di samping itu juga
adanya upacara Grebeg pada hari-hari besar Islam yang ditandai berupa kenduri
Gunungan yang dibuat dari berbagai makanan maupun hasil bumi. Upacara Grebeg
tersebut merupakan tradisi sejak zaman Majapahit sebagai tanda terhadap
pemujaan nenek moyang. Untuk menambah pemahaman Anda tentang Kenduri Gunungan,
silahkan Anda simak gambar berikut ini.
Gambar; Kenduri Gunungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar