Selasa, 09 Oktober 2012

Perbedaan Antropologi dan Sosiologi

Perbedaan Antropologi dan Sosiologi

oleh ;

Dede Yusuf 

(ria.choosen.net)

 Dilihat dari Sejarahnya: Perbedaan Antropologi dan Sosiologi


A.    Fase-fase Perkembangan Ilmu Antropologi

      1.      Fase Pertama (Sebelum 1800)
Ditandai dengan datangnya bangsa Eropa Barat ke Benua Afrika, Asia dan Amerika selama 4 abad (sejak akhir abad ke-15 hingga permulaan abad ke-16) membawa pengaruh terhadap berbagai suku bangsa ketiga benua tersebut. Bersamaan dengan kedatangan Bangsa Eropa Barat tersebut, mulai terkumpul tulisan-tulisan dari hasil buah tangan musafir, pelaut, para pendeta Nasrani, Penerjemah Kitab Injil, dan pengawai pemerintah jajahan dalam bentuk kisah perjalanan dan laporan. Buku-buku tersebut atau laporan tersebut didalamya berisikan tentang: adat-istiadat, susunan masyarakat, dan ciri-ciri fisik dari beragam suku bangsa dari benua-benua yang dikunjunginya. Bahan deskripsi itu disebut etnografi dari kata ethos=bangsa.
Pada permulaan abad ke-19 perhatian terhadap himpunan pengetahuan tentang masyarakat, adat-istiadat, dan ciri-ciri fisik bangsa-bangsa di luar Eropa dari pihak dunia ilmiah menjadi sangat besar, demikian besarnya sehingga timbul usaha-usaha pertama dari dunia ilmiah untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan pengetahuan etnografi menjadi satu.
      2.      Fase Kedua (Kira-kira pertengahan abad ke-19)
Fase kedua ini merupakan fase dimana, Integrasi tentang deskripsi Etnografi  yang sungguh-sungguh baru, timbul pada pertengahan abad ke-19. Karangan-karangan etnografi tersebut tersusun berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat. Timbulnya beberapa karangan sekitar 1860, yang mengklasifikasikan bahan tentang beragam kebudayaan diseluruh dunia ke dalam tingkat-tingkat evolusi tertentu, maka timbulah ilmu antropologi.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa fase perkembangannya yang kedua ini ilmu antropologi berupa ilmu yang akademikal, dengan tujuan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk mendapat suatu pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
      3.      Fase Ketiga (Permulaan abad ke 20)
Pada permulaan abad ke 20, sebagian negara penjajah di Eropa berhasil untuk mencapai kemantapan kekuasaan di daerah-daerah jajahan diluar Eropa. Untuk keperluan pemerintah jajahannya tadi, yang waktu itu mulai berhadapan langsung dengan bangsa-bangsa terjajah diluar Eropa, maka antropologi sebagai suatu ilmu yang justru mempelajari bangsa-bangsa di daerah-daerah di luar Eropa itu, menjadi sangat penting.
Dalam fase ketiga ini ilmu antropologi menjadi suatu ilmu yang praktis, dan tujuannya dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa diluar Eropa guna kepentingan pemerintah kolonial dan guna mendapat suatu pengertian tentang masyarakat masa kini yang kompleks.
      4.      Fase Keempat (sesudah kira-kira 1930)
Dalam fase keempat ini ilmu antropologi mengalami perkembangan yang paling luas, baik mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh lebiih teliti, maupun mengenai ketajaman metode-metode ilmiahnya. Selain itu kita lihat adanya dua perubahan di dunia:
      a.       Timbulnya antipati terhadap kolonialisme sesudah Perang Dunia II.
   b.   Cepat hilanhnya bangsa-bangsa primitif (dalam arti bangsa-bangsa asli dan terpencil dari pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika) yang sekitar 1930 mulai hilang, dan sesudah Perang Dunia II memang hampir tidak ada lagi di muka bumi ini.
Proses-proses tersebut menyebabkan ilmu antropologi seolah-olah kehilangan lapangan, dan dengan demikian terdorong untuk mengembangkan lapangan-lapangan penelitian dengan pokok dan tujuan yang baru.
Mengenai tujuannya, ilmu antropologi yang baru dalam fase perkembangannya yang keempat ini dapat dibagi dua, yaitu tujuan akademikal dan tujuan praktisnya. Tujuan akademisnya adalah mencapai pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari keragaman bentuk fisiknya, masyarakat serta kebudayaannya. Karena didalam praktik ilmu antropologi biasanya mempelajari masyarakat suku bangsa, maka tujuan praktisnya mempelajari manusia dalam keragaman masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa itu.

B.     Fese-fase Perkembangan Ilmu Sosiologi

      1.      Fase Pertama
Pada mulanya ilmu sosiologi hanya merupakan bagian dari ilmu filsafat. Para ahli filsafat yang menganalisis segala hal yang ada dalam alam sekelilingnya, juga tidak lupa memikirkan tentang masyarakatnya. Dengan demikian di dalam ilmu filsafat ada suatu bagian yang disebut filsafat sosial. Sejak abad ke-19, teori-teori dan konsep filsafat sosial itu telah berubah, sejajar dengan berbagai perubahan aliran filsafat dan latar belakang cara berpikir orang Eropa Barat.
      2.      Fase Kedua
Fase kedua ini ditandai dengan timbulnya krisis-krisis besar dalam masyarakat bangsa Eropa (seperti Revolusi Perancis, Revolusi Industri dan sebagainya), kegiatan tentang menganalisis tentang masalah-masalah dalam masyarakat semakin digalakkan. Bahkan ketika sarjana ilmu filsafat, yaitu H. De Saint-Simon (1760-1852) dan Aguste Comte (1789-1857) mengumumkan teori mereka tentang sifat positif terhadap semua ilmu pengetahuan juga dari ilmu tentang masyarakat atau sosiologi menyadarkan bahwa ada suatu ilmu sosiologi tersendiri. Bila dalam filsafat sosial berbagai macam pemikiran tentang masyarakat manusia masih dapat diklasifikasikan sejajar dengan adanya aliran-aliran filsafat besar di dunia Eropa Barat, ketika ilmu sosiologi memisahkan diri sebagai ilmu khusus, hal itu menjadi sukar. Perjuangan mengenai dasar-dasar, tujuan dan metode-metode dari ilmu yang baru itu, di antara berbagai sarjana menimbulkan banyak aliran yang saling bertentangan dan cepat berubah.
Dari penjelasan tentang sejarah perkembangan ilmu antropologi-sosial dan imu sosiologi di atas, kita dapat melihat perbedaan kedua ilmu ini dari kacamata sejarahnya, sangatlah nyata tentang perbedaan kedua ilmu tersebut. Ilmu antropologi mulai sebagai suatu himpunan bahan keterangnan tentang masyarakat dan kebudaan masyarakat di luar wilayah Eropa, seperti benua Afrika, Asia, Amerika dan sebagainya. Yang dijadikan sebagai ilmu khusus karena kebutuhan orang Eropa untuk mendapat pengertian tentang tingkat-tingkat permulaan dalam sejarah perkembangan masyarakat dan kebudayaanya sendiri. Sebaliknya, ilmu sosiologi pada awalnya merupakan bagian dari ilmu filsafat sosial, kemudian menjadi ilmu khusus karena bangsa Eropa memerlukan suatu pengetahuan yang lebih mendalam mengenai asa-asas masyarakat dan kebudayaannya sendri akibat krisis yang melanda.

Dilihat dari Pokok Ilmiahnya (Objek Penelitiannya): Perbedaan Antropologi dengan Sosiologi

Sejarah perkembangan ilmu antropologi telah mencatat bahwa ilmu itu sejak mulanya hingga sekarang objek-objek penelitiannya masih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan suku bangsa yang hidup di luar langkungan kebudayaan bangsa-bangsa Eropa dan Amerika Modern. Sebaliknya, sejarah perkembangan ilmu sosiologi mencatat bahwa ilmu itu sejak mula hingga sekarang objek-objek penelitiannya tertuju pada masyarakat dan kebudayaan bangsa-bangsa yang hidup dalam lingkungan kebudayaan Eropa dan Amerika.
Namun pada fese perkembangan keempat ilmu antropologi, para sarjana antropologi juga mulai memperhatikan tentang gejala-gejala masyarakat dan lingkungan kebudayaan masyarakat Eropa dan Amerika, sedangkan sejak kira-kira akhir abad ke-19 banyak penelitian sosiologi yang mulai mengolah tentang masyarakat suku bangsa pribumi di luar wilayah Eropa dan Amerika.
Lingkungan masyarakat dan kebudayaan  Eropa-Amerika itu dapat dilokasikan  dalam kota-kota tidak hanya di negara-negara Eropa dan Amerika, tetapi juga di kota-kota di Afrika, Asia, Oseania dan Amerika Latin. Di luar kota-kota di Afrika, Asia, Oseania dan Amerika Latin itu sifat-sifat kebudayaan Eropa-Amerika mulai berkurang, dan makin jauhlah kita pergi dari lingkungan masyarakat perkotaan, dan masuk ke dalam masyarakat pedesaan, maka makin berkuranglah unsur-unsur Eropa-Amerika itu. Berdasarkan dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa ilmu antropologi-sosial terutama mencari objek-objek penelitiannya di dalam masyarakat pedesaan, sedangkan sosiologi di dalam masyarakat perkotaan. Tetapi pegangan tersebut belum bisa dijadikan sebagai pegangan mutlak dalam hal menentukan perbedaan antropologi dan sosiologi dilihat dari objek penelitiannya. Ini desebabkan karena pada akhir-akhir ini tampak gejala bahwa para ahli antropologi pun mulai mencari objek-objek masayarakat yang lebih kompleks atau masyarakat perkotaaan, sebaliknya dalam sosiologi, terutama di Amerika sejak lama berkembang suatu kejuruan yaitu sosiologi pedesaan (rural Sociology) yang memperhatikan tentang masalah-masalah pertanian dalah kehidupan kota kecil masyarakat pedesaan di Amerika Serikat.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulakan perbedaan dari  antropologi dan sosiologi tidak dapat ditentukan oleh perbedaan antara masyarakat suku bangsa luar lingkungan Eropa-Amerika dengan bangsa-bangsa Eropa-Amerika. Kemudian kalau perbedaan itu juga tidak dapat ditentukan oleh perbedaan antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan, maka perbedan nyata harus dicari, yaitu kedua ilmu memakai metode ilmiah yang berbeda.

Dilihat dari Metode Ilmiahnya: Perbedaan Antropologi dan Sosiologi

Antropologi mempunyai pengalaman yang lama dalam hal meneliti kebudayaan-kebudayaan suku bangsa penduduk pribumi di Amerika, Asia, Afrika, dan Oseania. Suku-suku bangsa itu biasanya hidup dalam masyarakat pedesaan yang kecil, yang dapat diteliti keseluruhannya sebagai kebulatan. Sebaliknya ilmu sosiologi selalu lebih memusatkan perhatiannya pada unsur-unsur gejala khusus dalam masyarakat manusia, dengan menganalisis kelompok-kelompok sosial yang khusus (social groupings), hubungan antar kelompok-kelompok atau individu-individu (social relations) atau proses-proses yang terdapat dalam kehidupan suatu masyarakat (social processes).
Pengalaman dalam hal meneliti masyarakat kecil telah memberi kesempatan kepada para ahli antropologi untuk mengembangkan berbagai berbagai metode penelitian yang bersifat penelitian intensif dan mendalam misalnya dengan metode wawancara. Sebaliknya, para ahli sosiologi yang biasanya meneliti masyarakat kompleks atau kota, lebih banyak menggunakan berbagai metode yang bersifat penelitian meluas, seperti dengan metode angket.
Dunia antropologi mempunyai pengalaman yang lama dalam menghadapi keragaman (diversitas) di dalam bentuk kebudayaan dalam masyarakat kecil yang tersebar di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan berkembangnya berbagai metode mengumpulkan bahan yang mengkhusus ke dalam, kualitatif: serta metode pengolahan dan analisis yang bersifat membandingkan, Komparatif.
Sosiologi lebih banyak berpengalaman dalam meneliti gejala masyarakat perkotaan yang kompleks dan kurang memperhatikan sifat beragam hidup masyarakat dan kebudayaan manusia yang menjangkau seluruh dunia. Hal ini menyebabkan bergagai metode mengumumpulkan bahan yang lebih bersifat meluas, merata dan berbagai metode pengolahan bahan dan analisis yang berdasarkan perhitungan-perhitungan dalam jumlah besar. Metode-metode ini dapat disebut dengan kuantitatif, seperti metode statistik.
Disamping adanya dua kompleks metode yang mempunyai dasar-dasar yang berbeda, sebenarnya banyak metode peneliti lain yang sekarang sudah dipakai oleh kedua ilmu itu bersama-sama, karena pada hakikatnya tujuan dari kedua ilmu itu sama. Memang, antropologi-sosial dan sosiologi adalah dua ilmu yang mempunyai dua kompleks metode yang saling dapat isi-mengisi dalam proyek-proyek penelitian masyarakat yang sama.

Daftar Pustaka

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar